Meneguhkan Netralitas Polri di Pilkada Serentak
Oleh: Habib Aboe Bakar Alhabsyi, Anggota Komisi III DPR RI
Sepekan menjelang Pilkada Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan ada oknum di Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, dan TNI yang tidak netral dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018.
Apa yang disampaikan ketua umum partai Demokrat tersebut seolah menguatkan tudingan tidak netral yang dialamatkan kepada Polri lantaran pengangkatan Komjen Pol M Iriawan yang beberapa hari sebelumnya diangkat sebagai Pejabat Gubernur Jawa Barat.
Oleh karenanya, dirasa perlu untuk kembali meneguhkan sikap netralitas Polri dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2018.
Perkembangan masyarakat, tekhnologi dan media sosial sangat progresif dan dinamis.
Karenanya, apabila terjadi penyimpangan terhadap prinsip-prinsip netralitas tersebut pasti akan dapat didokumentasikan dengan muda dan cepat menyebar secara luas. Karenanya, sebagai anggota Komisi III yang merupakan mitra kerja Kepolisian Republik Indonesia saya perlu memberikan catatan khusus dan mengingatkan mengenai arti penting netralitas Polri dalam Pilkada kali ini.
Sehingga aparat dapat menghindari sikap atau tindakan yang dapat dilihat sebagai keberpihakan kepada salah satu paslon tertentu. Supaya dapat dihindari pula langkah-langkah yang dapat dinilai bermuatan politis.
Instrumen hukum yang mengatur netralitas polri sudah cukup lengkap. Karena netralitas Polri merupakan harapan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 dan TAP MPR.
Pada Pasal 30 ayat (2) hingga ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa TNI dan Pol¬ri harus netral karena tugas mereka sangat strategis. Demikian juga pada pasal 10 Ketetapan MPR Nomor 7/MPR/2000 diatur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Selain pada dua instrumen hukum tersebut, netralitas Polri dalam Pilkada juga diatur dalam Pasal 28 ayat 1, 2, dan 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal tersebut menegaskan beberapa hal, yakni Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, anggota Polri tidak menggunakan hak pilih dan dipilih dan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, setelah mengundurkan diri atau sudah pensiun dari dinas kepolisian.
Ketentuan ini mempertegas bahwa hak politik anggota Polri untuk dapat berkontestasi dalam Pilkada hanya dapat digunakan ketika yang bersangkutan sudah tidak menjadi anggota aktif.
Ketentuan netralitas Polri juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut Pasal 71 UU Pilkada tersebut, pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, anggota TNI, Polri dan kepala desa atau sebutan lain, dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Oleh karenanya, para aparat kepolisian harus benar-benar mengatur tindakannya dengan cermat. Jangan sampai, tindakah yang diambil akan dinilai dengan langkah politis yang menguntungkan atau merugikan salah satu pihak.
Secara tekhnis persoalan netralitas Polri juga diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang kode etik profesi Kepolisian RI. Yang menegaskan kewajiban dan larangan bagi anggota Polri terlibat dalam kehidupan politik. Bahkan, dalam salah satu pasal diatur mengenai sanksi bagi anggota Polri yang melanggar kode etik profesi itu.
Aturan ini diperkuat dengan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/7/VI/2014 tanggal 3 Juni 2014 tentang Pedoman Netralitas anggota TNI dalam Pemilu dan Pilkada. Hal itu semua seharusnya sudah cukup menjadi pedoman yang cukup komplit untuk anggota Polri dalam menjaga netralitasnya dalam Pilkada serentak 2018.
Netralitas Polri menjadi unsur penting dalam penyelenggaraan Pilkada karena dalam perhelatan demokrasi ini Polri diberikan peran, tugas, serta kewajiban sebagai unsur anggota pengawas, pengaman, dan pelaksana Pilkada. Oleh karenanya untuk memenuhi tanggung jawab tersebut Polri harus dapat berbuat, berkehendak, dan bekerja secara baik dan netral dalam keberadaan, peran, maupun tugasnya.
Dalam wujud penampilannya Polri juga dituntut harus dapat memainkan peranan yang mandiri, proporsional, dan profesional.
Setidaknya ada tiga peran penting yang harus dilaksanakan oleh Polri dalam penyelenggaraan Pilkada.
Pertama, melakukan pengamanan pada setiap tahapan pelaksanaan Pilkada, agar peyelenggaraan Pilkada dapat berjalan dengan aman dan lancar.
Kedua, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana Pilkada yang dilaporkan kepada Polri melalui Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota.
Ketiga, melakukan tugas lain menurut Per UU yang berlaku seperti: melaksanakan tugas pelayanan penerimaaan pemberitahuan kegiatan kampanye dan atau pemberian ijin kepada peserta Pilkada.
Ketiga peran tersebut sangat memerlukan netralitas Polri agar penyelenggaraan Pilkada bisa berkualitas.
Menjaga nilai netralitas dalam pilkada adalah bagian dari upaya terciptanya good policing. Semangat ini merupakan upaya untuk menghadirkan kehidupan yang demokratis, tegaknya supremasi hukum, pemberian pelayanan yang demokratis dan non diskriminatif, serta adanya perlindungan HAM dalam segala tugas dan implementasi kerja polisi.
Hal ini diperlukan karena fungsi kepolisian pada dasarnya adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
Pada event Pilkada seperti ini, Polisi sebagai pihak yang dituntut untuk menjaga netralitas harus menyadari bahwa tuntutan masyarakat merupakan kondisi yang ideal yang harus dipenuhi oleh institusi polisi ke depannya.
Masyarakat meyakini bahwa prinsip netralitas polri dalam politik harus dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh, karena hal ini merupakan modal penting bagi peningkatan profesionalisme fungsi kepolisian.
Melalui pejagaan konsistensi netralitas dalam politik tersebut, diharapkan dapat menaikkan persepsi positif masyarakat terhadap isntitus kepolisian. Selamat mengawal Pilkada 2018 dengan meneguhkan netralitas Polri dalam politik.