Mengapa Prabowo Perlu Menjaga Citra Kesinambungan Pemerintahannya dengan Jokowi?

Kita sebenarnya menantikan ulasan para pengamat mengenai kehadiran Jokowi di acara ulang tahun Partai Gerindra dan penghargaan yang begitu tinggi dari Prabowo untuk Jokowi baik sebagai Presiden maupun sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Sebagian orang sudah dengan tidak sabar menunjukkan sikap terhadap pujian Prabowo terhadap Jokowi tersebut. Maklum pujian tersebut muncul di tengah meningkatnya tekanan untuk mengadili Jokowi dan mengubah pendekatan yang selama Jokowi memerintah demikian boros dan memanjakan kalangan pemilik modal.
Pendekatan berbeda dengan Jokowi seperti penghematan anggaran, tampaknya sudah mulai didengungkan oleh Prabowo, walaupun kita masih melihat dulu sejauh mana hal itu benar-benar konsisten.
Demikian juga pendekatan untuk memanjakan rakyat di bawah berupa di antaranya program Makan Bergizi Gratis untuk anak-anak sekolah, telah mulai berjalan walaupun mungkin dengan terjadinya pengetatan anggaran, akan sedikit banyak mempengaruhi program tersebut. Sementara itu, pendekatan yang selama Jokowi berkuasa amat memanjakan kaum pemilik modal hingga menurut kita sampai kebablasan dengan melunjaknya keangkuhan golongan ini, di masa pemerintahan Prabowo selarang, belum terlihat pendekatan yang jelas terhadap soal yang satu ini.
Contohnya, kasus PSN PIK2 dan BSD. Sejauh ini, BSD belum terekspos bagaimana mereka mengekspansi lahan dan modalnya: apakah telah melanggar hukum dan menindas rakyat sebagaimana PIK2.
Saya kira Jokowi sudah terlanjur identik dengan citra pemerintahannya yang pro para pemilik modal besar sebagai katalisator dan rakyat kecil sebagai objek politik yang termanipulasi dan tertawan kehidupannya. Kita tidak perlu tunjukkan lagi di sini pembuktiannya, karena sudah demikian gamblang, baik karena rakyat kecil sebagai objek manipulasi para buzzers yang bekerja semasa Jokowi, maupun sebagai sekedar “penadah” bantuan yang tidak membebaskan sama sekali kehidupan mereka dari kemiskinan, selain sekedar untuk bertahan hidup.
Keadaan objektif ini harusnya menjadi atensi dan koreksi bagi Prabowo untuk melakukan pendekatan baru terhadap problem rakyat kecil dewasa ini. Mengawetkan kesinambungan pemerintahan Prabowo dengan Jokowi, harus benar-benar diperinci: di aspek mana yang perlu disinambungkan dan di bagian mana pula yang perlu diputus agar tidak menjadi beban, penyakit dan justru menimbulkan antipati bagi rakyat. Merebut simpati rakyat yang diam jauh lebih penting daripada sekedar menghidangkan simpati kepada Jokowi demi meraih dukungannya terhadap Prabowo.
Misalnya, jika memang unsur kekuatan pendukung politis Jokowi terletak pada kaum pemilik modal yang selama ini demikian berpesta selama pemerintahan Jokowi, dan dengan akibat tingginya kesenjangan dan prospek daya politik rakyat yang semakin pudar untuk menjamin hak-hak ekonomi dan politiknya karena aparat hukum berada dalam pengaruh kaum pemilik modal, maka Prabowo tidak perlu ragu untuk memutus dan mengoreksi pendekatan politis yang tidak menguntungkan tersebut baik bagi bangsa maupun negara. Pada aspek ini, tidak perlu ada kesinambungan antara Jokowi dan Prabowo.
Untuk memutus mata rantai di aspek yang tidak positif tersebut, Prabowo harus memberikan pendekatan yang monumental dan berefek jera, misalnya menghukum mereka yang terbukti korupsi yang mencengangkan dan membahayakan kedaulatan negara, yaitu dengan menghubungkan praktik korupsi tersebut sebagai penghianatan dan subversi, sehingga dengan demikian dapat dihukum mati.