Meninjau Kembali Desain Kuasa di Indonesia Saat Ini
Apakah Anda mengira, bahwa kekuasaan di Indonesia muncul dan berkembang begitu saja secara alamiah dan kebetulan? Tentu jika Anda berpikir demikian, maka Anda salah.
Kehadiran kekuasaan di Indonesia, khususnya kekuasaan kolonial sebagai landasan utama berdirinya kemudian sistem kekuasaan Republik hingga saat ini, didesain secara sengaja dan terstruktur. Indikasi utama ialah bagaimana di era kolonial, kekuasaan Belanda dilandaskan pada stratifikasi hukum pada tiga golongan secara hirarkis: golongan eropa, timur jauh dan pribumi.
Stratifikasi itu berfungsi untuk melanggengkan kuasa kolonial dan mendemarkasi masyarakat terhadap golongan elit kolonial agar lebih mudah mengontrol kekuasaannya. Ciri berikutnya ialah bangsa Eropa datang menjajah kawasan kepulauan ini dengan metode berpikir ilmiah – objektif yang berbeda jenis dengan metode berpikir mistis, mitologis, subjektif-irasional yang berlaku umum di dalam masyarakat kepulauan. Walhasil, memang perangkat pemikiran eropa yang lebih maju itu dapat dengan mudah menaklukkan cara berpikir masyarakat lokal di kepulauan ini. Dan nyaris ilmu etnografi, geografi, ilmu alam, hingga antropologi digunakan untuk memperlancar penaklukan dan penjajahan di negeri ini. Kasus yang terkenal adalah Crhistiaan Snouck Hurgronje. Jadi intinya, memang kekuasaan kolonial sengaja didirikan secara terencana dan terdesain sedemikian rupa. Bukan tumbuh alamiah sedemikian rupa.
Berlalu waktu. Singkat cerita Indonesia berdiri sebagai suatu negara republik. Republik adalah desain kuasa untuk mengganti monarki. Akibatnya, seluruh elemen dan pilar negara monarki, beku kalau bukan sirna. Sebab kuasa kini digantikan oleh mekanisme pemungutan suara rakyat pemilih. Bukan oleh pewarisan kekuasan berdasarkan keturunan para raja.
Namun dalam sistem negara republik Indonesia ini, kekuasaan tidak dengan sendirinya dikendalikan oleh rakyat pemilih dan diseleksi serta disalurkan oleh rakyat. Mengenai sistem saluran dan seleksi penguasa atas negara republik ini, untuk kasus Indonesia, Anda dapat belajar dari sistem Orde Baru di masa lalu.
Sistem Orde Baru memperkenalkan tiga jalur seleksi dan saluran kuasa, yaitu jalur A – B – G. Jalur A (ABRI atau Hankam), jalur B (Birokrasi atau aparat negara sipil) dan G (Golkar yaitu golongan rakyat umum yang secara politik dikonsolidasikan berdasarkan fungsinya di dalam negara dan masyarakat).
Ketiga jalur inilah yang diskemakan oleh rezim Soeharto untuk menopang piranti dan tangan-tangan kekuasaannya di sekujur tubuh negara Indonesia yang luas ini. Gubernur dan bupati-bupati di seluruh Indonesia diseleksi dari tiga jalur ini. Termasuk menteri dan segala macam perangkat Orde Baru, walaupun didominasi oleh Angkatan Darat.
Dari sana sekali lagi kita belajar, bahwa kekuasaan itu senantiasa didesain dan diskemakan dengan rapi dan cerdik.
Sekarang, hampir tidak ada bedanya. Cuma, terjadi penyesuaian. Sekarang ini, terdapat tiga jalur juga.
Pertama, jalur bisnis. Kedua jalur hankam yang meliputi TNI dan Polisi. Dan ketiga, jalur massa yang meliputi ormas dan orpol. Ketiga jalur inilah sekarang yang merajai rekruitmen dan seleksi ke puncak kekuasaan. Lihat saja komposisi kabinet Jokowi.
Masing-masing jalur ini, bagaikan memiliki dunianya sendiri dan kerajaannya sendiri. Tapi sebenarnya, di puncak elit, ketiga jalur ini tak ada pentingnya lagi. Pelembagaan jalur-jalur ini, lebih banyak digunakan untuk mengontrol dan mengorkestrasikan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan elit saja senyampang dengan pengontrolan terhadap negara dan masyarakat.
Itulah sebabnya, belakangan ini gejala oligarki sebagai manifestasi kekuasaan di Indonesia makin tampak nyata. Dampak dari skema tiga jalur kuasa semacam ini, hanya akan tetap menggencet dan memeras rakyat.
Skema tiga jalur kuasa ini, sebetulnya dapat saja dipintas dan dirobohkan, yaitu dengan tidak membiarkan massa dikavling-kavling sedemikian rupa, baik berdasarkan aliran, agama, etnik, latar belakang almamater, kampung halaman (daerah), hobby, dan sebagainya. Tapi tentu saja memerlukan upaya keras untuk menyadarkan dan menggembleng massa pada garis ikatan baru.
Elemen pemuda, buruh, kaum marginal dan civitas akademika, berpotensi besar untuk merombak tiga jalur ini agar tidak menjadi selamanya sebagai landasan tahta kaum oligarki yang merajalela sekarang ini, manakala mereka mengkristal sebagai golongan penggerak, inkubator dan katalisator. Sebab sejauh ini, banyak dari golongan agama telah nyaman dengan skema ini dan menyediakan diri sebagai pilar dari oligarki.
~ Bang SED