Mustahil Penyerang Novel Tertangkap?

 Mustahil Penyerang Novel Tertangkap?

Oleh : Dedi Noah, Pemerhati Sosial dan Kriminal

Berbagai teror, ancaman dan penyerangan terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan sudah sering ia dapatkan, tercatat sudah 5 kali.

Puncaknya terjadi pada Selasa, 11 April 2017 pukul 05.10 (shubuh), dua penyerang bersepeda motor menyiramkan air keras (H2SO4) ke wajah Novel, setelah pulang sholat shubuh berjamaah dari Mesjid Al’Ihsan di dekat rumahnya, kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Kejadian begitu cepat, sehingga Novel tidak sempat melihat wajah penyiramnya. Akibat kejadian tersebut mata (kiri stage-4 dan kanan stage-3), wajah kiri atas, kepala bagian kiri dan tangannya terluka serius yang berdampak cacat permanen.

Atas pertimbangan dan saran para dokter dari Rumah Sakit Mata di Jakarta, yang bersangkutan dirujuk ke Singapura untuk pengobatan dan operasi selanjutnya.

Sebagai penyidik senior KPK, Novel dikenal tegas dan konsisten dalam tugas menegakkan hukum. Integritasnya sudah teruji sehingga ybs dipercaya menangani kasus-kasus besar seperti, Kasus Simulator dan Rekening Gendut “Budi Gunawan” di Polri, Cek Pelawat, Hambalang, Bendaharawan Nazaruddin dan belakangan E-KTP, yang tentu semua itu banyak melibatkan pejabat penting negara, politikus, pengusaha, termasuk para penggede Polri.

Di era penegakan hukum saat kini, sosok seperti Novel jarang ditemui. Ia berani melawan arus deras dalam anomali hukum Indonesia. Fakta di lapangan, membuktikan penegakan hukum terhadap “high class person” masih terseok-seok dan menempuh jalan terjal dengan tingkat kesulitan luar biasa.

Bahkan tidak jarang akibat “corruptor fight back” banyak memakan korban dari penegak hukum itu sendiri. Misalnya Bambang Wijoyanto, Abraham Samad, Antasari Azhar, Bibit Riyanto, Chandra Hamzah sudah merasakan dinginnya Hotel Prodeo akibat perlawanan dari para koruptor dan gangnya.

Inilah tantangan berat praktek hukum melawan korupsi di Indonesia. Selain banyak musuh, ternyata potensi intervensi pemerintah, parpol dan kelompok tertentu juga kuat, meski dibarengi seliweran silat lidah bantahan. Fenomena hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bukan basa-basi tetapi kenyataan.

Oleh karenanya bila ada praktek hukum murni menempatkan obyektifitas dan kebenaran seperti yang diterapkan Novel, banyak pihak yang selama ini sudah nyaman menjadi terusik. Tak disangkal, praktek mafia hukum benar adanya dan sudah melibatkan serta merambah ke semua lembaga yudikatif, eksekutif, legislatif serta pengacara dan LSM/masyarakat.

Dalam kondisi begini, mafia dan para bandit tentu ingin praktek yang selama ini berjalan tidak disentuh KPK. Apapun ditempuh demi kepentinganya, cara halus, kasar, legal sampai non legal. Para koruptor berkepentingan melemahkan KPK, terutama kepada Novel yang dikenal tak bisa diajak kompromi. Siasat pun disusun dengan mencari-cari kesalahan di masa lalu agar bisa menjadi alasan untuk menjerat Novel ke dalam proses hukum.

Sebenarnya gaya ini ganjil, karena lazimnya institusi memback-up dan melindungi anggota, tapi ini sebaliknya justru mengungkap kelemahan untuk diumbar ke publik. Aneh, praktek bobrok Polri sendiri diumbar kepada khalayak demi menutup kepentingan oknum tertentu yang berdampak citra negatif Polri. Mencari kebenaran untuk proses penegakan hukum yang benar bukan lagi tujuan, tapi demi untuk membungkam Novel.

Mereka sangat berkepentingan agar langkah Novel di KPK selesai dan menjadi shock therapy bagi anggota KPK lainnya yang ingin coba-coba bersikap tegas dalam kebenaran hukum yang berkeadilan.

Keberanian Novel menegakkan hukum di pusaran kebobrokan aparatur hukum negara membuat para koruptor tidak nyaman, sebab praktek baku-atur hukum yang selama ini sudah jalan rapih, dari bawah sampai atas jadi terhambat. Sayangnya perlawanan ini dihadapi KPK sendirian tanpa bantuan signifikan dari pemerintah dan aparatur hukum lainnya.

Bahkan terkadang aparatur hukum lain justru ikut mengeroyok KPK agar semakin melemah. Di sisi lain pemerintah terlalu sibuk main politik dan abai terhadap kerusakan praktek hukum, sehingga korban terus berjatuhan dan membuat rakyat semakin menderita.

Seperti biasa pemerintah bereaksi, setelah ada kejadian, termasuk dalam hal pengamanan penegak hukum, Novel. Pemerintah seharusnya proaktif melindungi para penegak hukum KPK, karena mereka memiliki resiko tinggi, dimana berhadapan dengan para koruptor besar “kelas ikan hiu” melalui kaki tangan dan pengacaranya. Mereka punya uang dan kekuatan yang dahsyat, sehingga bisa berbuat apa saja, demi kepentingannya, termasuk mengabaikan dan mangangkangi hukum.

Bicara Novel, pasti orang teringat perseteruan ”khusus” antara Novel dengan Polri. Di mata rakyat bukan rahasia lagi, polisi “hate” kepada Novel, karena berani tegas dalam menegakkan hukum kepada polisi yang bersalah dan tidak mau melakukan praktek “86”. Novel sempat ditangkap pada 1 Mei 2015 dini hari kemudian diinapkan di Bareskrim Polri. Ada pula kasus Komjen (Pol) Susno Duadji, Kombes (Pol) Alfons Loemao keduanya berakhir di penjara setelah mencoba membongkar korupsi di Polri.

Begitu pula, sebelumnya, Tama S. Langkun (ICW) yang mencoba mengurai korupsi di Polri berakhir di RS setelah dibacok orang tak dikenal, tanpa terungkap pelakunya hingga sekarang.

Sejatinya setiap penegak hukum mengemban tugas menegakkan hukum, bukan sebaliknya melecehkan hukum. Tapi dalam kasus Novel ada “keunikan” dimana berlaku sebaliknya, demi menyelamatkan oknum penggede Polri yang melakukan korupsi, yang kemudian terbukti menjadi koruptor dan dipenjara.

Seharusnya Polri berterima kasih kepada Novel yang sudah menangkap tikus pembobol dana Polri, bukan justru menghajarnya. Proses hukum kepada Novel terlihat jelas sebagai dagelan memalukan, Polri merasa tidak bersalah mengkriminalisasi Novel. Padahal rakyat sangat mengetahui kalau itu cuma dagelan demi menutupi kesalahan oknum perwira tinggi Polri dengan memojokkan dan menyalahkan Novel. Dagelan ini, dibaca rakyat, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Atstaghfirullah…!!!

Kita tidak boleh menerka, tapi gunakan logika dalam memahami masalah hukum unik Novel. Lazimnya, Polri akan menutupi kesalahan anggota demi nama baik institusinya. Tapi untuk kasus Novel justru sebaliknya, polisi mengumbar praktek keburukan tingkah polah anggota Polri. Aneh !!

Kalau ini yang ditempuh, maka kebenaran bukan lagi tujuan, tapi bagaimana bisa membungkam anggota Polri yang coba-coba tidak loyal membela senior atau institusi, meski ujungnya kerugian besar bagi citra Polri. Kebobrokan Polri akan terus dipertontonkan demi membela dan menutupi kesalahan oknum berpangkat tinggi.

Segala cara ditempuh, halal dan haram tidak jadi masalah, termasuk dampaknya bagi citra Polri itu sendiri. Sebenarnya hal itu adalah tindakan dungu dan pandir karena memberangus kebenaran dan memelihara kebathilan demi membela oknum yang melakukan pelanggaran, yang memang terbukti bersalah.

Novel tak diragukan lagi sangat mencintai kebenaran dan keadilan hukum. Ini dibuktikan dirinya tatkala berseteru dengan institusinya, sampai dia rela keluar atau mengundurkan diri sebagai anggota Polri. Sungguh tindakan nekad, tapi membanggakan warga bangsa, karena yang bersangkutan mundur demi kehormatan diri dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan hukum.

Novel yang tidak mau jadi pengkhianat bangsa dan bersikap ABS seharusnya dijadikan asset Polri dalam memberantas korupsi di tanah air, bukan justru dimusuhi. Rakyat pasti mengatahui mana berlian dan mana kotoran. Kebenaran yang ditegakkan Novel seharusnya dijadikan momentum introspeksi Polri dalam membenahi Polri secara mendasar.

Sesungguhnya benang merah mafia hukum dan pihak yang tidak suka kepada penegak hukum KPK, terutama Novel, bisa dikatakan ada kejelasan. Tapi karena terkait fakta hukum bukan opini, sehingga tidak mudah menyeret aktor di belakang teror, intimidasi termasuk penyiram air keras kepada Novel.

Dari gambaran di atas, mungkinkah penyerang Novel bisa terungkap dan ditangkap ? Hanya Allah SWT yang tahu dan rakyat yang hanya bisa menduga-duga. Rasanya mustahil, tapi andai bisa tertangkap pasti ada di kamar jenazah, sehingga akan terputus mata rantai kebusukan itu. Apabila ditangkap hidup, maka disetel “jumpa pers” tanpa tanya jawab, paling-paling yang diduga oknum cuma dipajang kayak Rani pada kasus Antasari.

Berkaca pada fakta empiris Densus 88 Polri, pasti tidak diragukan lagi kehebatannya. Bukti, kelompok teroris yang dikenal sebagai gerakan tertutup, rahasia, terlatih, militan, terorganisasi baik, ternyata dalam hitungan “jam” sudah bisa digebuk. Tapi sayang, seperti biasanya Polri abai terhadap HAM, sehingga urusan mati-mematikan jadi soal lumrah, seperti tewasnya 6 orang yang diduga teroris di Tuban pada 8 April 2017 dengan alasan klise “melawan”.

Kemudian dengan cepat Polisi berhasil menagkap pelaku pembunuhan sekeluarga pada 9 April 2017 di Medan. Begitu pula kasus-kasus super rumit, semua ujungnya bisa diatasi secara “gemilang” dalam waktu yang cepat, kemudian seperti biasa melakukan “jumpa pers” agar masyarakat mengetahui prestasi Polri.

Tapi anehnya, tatkala kasus Novel bergulir kelaziman itu berbalik 180 derajat. Seharusnya secara logika dalam hitungan jam pula Polri bisa menangkap para pelaku yang amatiran ini, namun fakta sampai saat ini belum bisa mengungkap dan menangkap pelakunya. Mengapa demikian, hanya Allah swt yang mengetahui. []

Facebook Comments Box