Naiknya Minyak Goreng Abaikan Daya Beli Rakyat

 Naiknya Minyak Goreng Abaikan Daya Beli Rakyat

JAKARTA – Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024 yang mengubah aturan kewajiban _domestic market obligation_ (DMO) berdampak pada kenaikan harga di tingkat konsumen, serta mengganggu stabilitas ketersediaan minyak goreng.

Seperti diketahui, Permendag 18/2024 menghapus kewajiban DMO untuk minyak curah dan mengalihkan sepenuhnya untuk MinyaKita (minyak kemasan). Penghapusan minyak curah sudah pasti membawa konsekuensi naiknya biaya produksi, di mana kenaikan itu dibebankan kepada rakyat atau konsumen.

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, menilai kebijakan tersebut lahir di waktu yang tidak tepat. Saat ini daya beli masyarakat sedang terpuruk, baik di masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas menengah bawah. Belum lagi banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri dan sulitnya mencari pekerjaan baru.

“Saya merasa heran, mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan ini di saat daya beli masyarakat menurun. Jelas kondisi tersebut membebani rakyat kecil. Semestinya kondisi perekonomian rakyat harus menjadi pertimbangan juga, jangan hanya melihat dari sisi pengusaha sawit saja,” ungkap Amin.

Jika tidak dilakukan penyesuaian kebijakan, situasi ini akan semakin membebani masyarakat, terlebih jomplangnya antara pendapatan, terutama di kalangan pekerja, yang cenderung stagnan dengan laju inflasi akibat kenaikan harga kebutuhan pokok.

“Meskipun pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET), namun faktanya harga riil di tingkat konsumen selalu lebih tinggi dari HET,” beber Amin.

Selain itu, basis kewajiban DMO sendiri didasarkan pada volume ekspor yang dilakukan produsen minyak sawit (CPO) dan turunannya, sehingga rujukan harga yang digunakan pengusaha pun pada harga internasional. Di tengah nilai tukar rupiah yang terus terpuruk dibandingkan sejumlah mata uang global, terutama Dolar AS maupun Euro, hal itu berdampak pada kenaikan harga minyak goreng untuk pasar dalam negeri, termasuk MinyaKita.

“Saya berharap pemerintah tidak hanya memberikan kebijakan relaksasi bagi pengusaha, namun juga mengeluarkan kebijakan yang bisa meringankan beban rakyat. Pemerintah juga wajib menyiapkan langkah-langkah mitigasi terhadap dampak negatif dari Permendag 18/2024,” ujar Amin.

Ia menyarankan agar saat ini sebaiknya DMO minyak curah tidak dihapuskan 100% namun masih diberlakukan secara proporsional sesuai kebutuhan rakyat. Kemudian basis perhitungan DMO untuk setiap produsen, tidak menggunakan basis volume ekspor namun menggunakan basis jumlah produksi minyak sawit.

Permendag 18/2024 terkesan lebih condong pada kepentingan produsen minyak sawit, karena pemerintah memberi mereka kebebasan dalam menentukan alokasi produksi antara pasar domestik dan ekspor. Jika nanti harga di pasar ekspor meningkat, demi mengejar keuntungan, sudah barang tentu produsen minyak sawit akan lebih mementingkan pasar ekspor.

“Ini akan sangat rawan bagi stabilitas pasokan dan harga minyak goreng di dalam negeri. Pemerintah mestinya bisa belajar dari krisis harga dan pasokan minyak goreng beberapa waktu lalu yang menyulitkan rakyat,” tegasnya.

Terlebih dengan kendali distribusi bukan di tangan pemerintah, namun di tangan swasta, pemerintah tidak akan mampu mengontrol stabilitas pasokan dan harga minyak goreng. Itulah yang terjadi pada tahun 2022 lalu.

Selain itu, semestinya, pemerintah juga mempertimbangkan konsumen dari kelompok usaha mikro dan usaha kecil (UMKM), selain mempertimbangkan konsumen rumah tangga. Bagi kelompok usaha mikro dan kecil yang usahanya amat tergantung pada minyak goreng, kenaikan harga akan sangat memukul usaha mereka yang saat ini sudah kembang kempis akibat anjloknya daya beli masyarakat.

Facebook Comments Box