NU dan Sulitnya Berada di Tengah
Oleh: M. Imaduddin*
Saat ini, benturan terbuka antara kelompok (yang mengatasnamakan) Islam dengan kelompok nasionalis sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.
Bibit-bibitnya sudah nampak, seperti bentrokan antara FPI dengan GMBI, penghadangan tokoh MUI oleh kelompok dayak di Kalimantan, saling ancam antar dua kubu, saling lapor ke polisi, dan beberapa letupan-letupan kecil lainnya.
Saya khawatir, kain NKRI yang telah dirajut dengan darah dan nyawa oleh para pahlawan dan pendiri bangsa ini akan robek dan tercerai berai.
Dua kelompok ini menggunakan isu yang disebarkan secara massal kepada para pengikutnya. Kelompok (yang mengatasnamakan) Islam menggunakan isu PKI untuk menyerang nasionalis, sementara kelompok nasionalis menghajar kelompok “Islam” dengan teriakan anti kebhinekaan dan intoleran.
Timur tengah telah memberi pelajaran buat kita, bahwa konflik antar golongan telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat di Suriah, Irak, Afghanistan, dan negara-negara timur tengah lainnya.
Sekarang, negara-negara mayoritas muslim tersebut menjadi failed state (negara gagal). Dan entah sampai kapan akan berakhir derita rakyat di sana.
Konflik di negara-negara tersebut memang diciptakan oleh negara-negara besar, dengan cara mengadu domba kelompok-kelompok di negara-negara tersebut. Sunni diadu domba dengan Syiah, Islam diadu domba dengan nasionalis.
Inilah yang dinamakan proxy war. Ketika terjadi perang, maka semakin mudahlah negara-negara besar menguasai negeri yang berkonflik tersebut. Motifnya jelas, hegemoni politik dan ekonomi.
Kembali ke negeri kita. Lalu, NU harus berdiri di posisi mana?
NU, sebagaimana karakternya sejak dulu harus berada di tengah-tengah dua kelompok tersebut. NU mesti berperan menjadi “juru damai”. Sebab, bagi NU jelas, “nasionalisme dan agama ibarat dua sisi mata yang, keduanya saling menguatkan.
Nasionalisme saja tanpa agama, maka akan kering nilai2. Sementara agama saja tanpa nasionalisme tak mungkin bisa menyatukan bangsa”. NU, selain itu, berpedoman pada kaidah fiqh, “menolak mafsadat (kehancuran) lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”.
Sayangnya banyak orang yang tidak memahami karakter tawasuth NU ini. Bahkan sebagian kalangan nahdliyin sendiri justru gagal paham. Entahlah apa sebabnya, mungkin karena tidak paham dengan prinsip-prinsip Aswaja an-Nahdliah atau karena ikut arus situasi saja karena tak memahami masalah dari hulu sampai hilir.
Untuk kelompok yang selalu mengatasnamakan Islam, sebagian umat Islam justru terlena dan terbuai dengan simbol-simbol formal agama yang dijual oleh mereka. Padahal dibalik itu tersembunyi tujuan kekuasaan.
Bagi kelompok ini, tak peduli negeri ini hancur lebur asalkan Islam berkuasa; tak peduli ribuan nyawa melayang sia-sia atas nama jihad yang keliru, asalkan Islam menang.
*****
‘Ala kulli hal.. Selamat Harlah NU ke-91 pada 31 Januari ini. Semoga terus istiqomah mengawal Aswaja dan menjaga NKRI, meski selalu dihantam oleh badai fitnah dan caci maki dari orang-orang yang tak mengerti.
Penulis: Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU (LD-PBNU)