Opini: Kala Kampus Menjadi Agen Kapitalisme
Hingga saat ini mahasiswa masih dianggap sebagai entitas lain dalam kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia. Pasalnya, wacana yang dibangun tentang anak muda yang mengecam pendidikan tinggi dinilai mampu melahirkan perubahan ke arah positif,atau sering kita kenal dengan istilah agent of change.
Keberadaan mahasiswa sebagai kaum intelektual masih menjadi harapan bagi masyarakat. Bila ditilik dari catatan sejarah, tak sedikit catatan sejarah yang menuliskan tentang perjuangan kaum muda itu. Termasuk dari tragedi dan perubahan yang terjadi melalui pola pikir dan tindakan para mahasiswa.
Dinamika internal kampus juga berperan besar dalam mempengaruhi mental mahasiswa melalui organisasi intra kampus atau ekstra kampus. Banyak mahasiswa yang melahirkan ide dan semangat besar untuk menjunjung tinggi tridarma perguruan. Karena mahasiswa ini kelak akan menjadikan pemimpin yang akan berguna bagi bangsa dan negara.
Dari situ, kita tengok saja sejumlah tokoh politik atau pemimpin bangsa yang juga lahir dari organisasi mahasiswa seperti Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Firman Soebagyo, Fadel Muhammad, Budiman Sudjatmiko, Amien Rais, Ade Komarudin, Fahri Hamzah dan lain-lainnya.
Belakangan ini, tak sedikit mahasiswa yang mengeluhkan sikap pejabat kampusnya di tempat mereka memupuk ilmu. Pasalnya, banyak aturan yang diciptakan cenderung membatasi bahkan mematikan kreatifitas atau ruang gerak para kaum aktivis mahasiswa.
Saya mengambil contoh kampus kami STMIK (Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Ilmu Komputer) Indonesia, Cideng, Jakarta Pusat. Di mana kampus tempat kami menimba ilmu dan mengukir prestasi baik akademik maupun non akademik tidak lagi sejalan dengan idiologi tridarma perguruan tinggi.
Penyebabnya, organisasi internal kampus seperti Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sudah sejak tahun 2011 dibubarkan pihak rektorat kampus STMIK Indonesia.
Unit Kegitan Mahasiswa (UKM) di kampus kami memang ada. Namun, induk organisasi seperti BEM dan MPM tidak ada lagi. Parahnya lagi, ketua dan para puket (pembantu ketua) membiarkan kondisi struktur organisasi seperti ini terus berjalan pincang.
Mereka sengaja melakukan ini semua agar mahasiswa jadi gampang diarahkan sesuai nafsu bisnis dan kekuasaan mereka. Sehingga tridarma perguruan tinggi tidak ada lagi di kampus kami. Yang ada melainkan pemilik kampus hanya berkiblat pada uang dan tidak lagi mengembangkan wawasan intelektual di kampus.
Mirisnya lagi, kami sebagai mahasiswa justru pernah merasakan pengalaman pahit di kampus. Kami pernah dipukuli oleh pihak keamanan internal kampus lantaran menggelar aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Bukannya demo itu adalah hak kami sebagai kaum intelektual? Sebagai kaum terdidik dan kaum muda, kami independen melakukan apa saja. Tapi pihak kampus melarang hal itu. Ada apa?
Dari kami, dari aksi pemukulan itu sejumlah mahasiswa pingsan kemudian dilarikan ke RS Sumber Waras untuk penanganan. Kami dari mahasiswa hanya bisa melakukan apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa.
Selain masalah keorganisasian,kampus tempatnya menuntut ilmu juga bermasalah dalam bidang akedemik. Seperti mayoritas dosen yang hanya bergelar sarjana atau S1. Fasilitas laboraterium untuk praktek yang tidak memenuhi standart akreditasi yang ditargetkan, untuk mahasiswa strata satu (S1) yang mengajar mahasiswa calon S1 itu.
Selain itu, sarana perkuliahan seperti perpustakaan dan laboraterium yang minim itu mengundang tanda tanya. Ke mana uang bayaran kuliah selama ini yang dibayarkan para mahasiswa?
Setahu saya, selain untuk mendapatkan gelar sarjana, kampus seharusnya menjadi tempat para mahasiswa mengekspresikan ide dan gagasan,menggali potensi diri menjadi jembatan pengabdian kepada masyarakat.
Yang jadi soal, di kampus kami ini sudah menjadi kampus terkomersialisasikan dan. pragmatis oportunis. Para kawan-kawan mahasiswa di kampus kami dibentuk untuk jadi buruh murah dengan pengetahuan apa adanya. Dan menjadi individualis hedonis yang tak lagi memiliki idiologi sebagai dasar pemikiran kontemporer dalam ekonomi global.
Kami harapkan, kampus itu semestinya berjalan proses demokratisasi, seperti kampus lainnya. Karena penghasilan mereka dari keringat bapak dan ibu kami. Tidak seperti kampus kami ini, potensi kami sebagai mahasiswa dikangkangi oleh pemilik kampus dengan semena-mena.
Padahal, kampus adalah wahana untuk menggali dan meningkatkan potensi diri. Bukan malah memarjinalkan mahasiswa yang bersemangat tinggi dengan membungkam mulut pikiran dan langkah gerak melalui aturan aturan yang diciptakan.
Fahrul Rozi, Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa STMIK Indonesia (KAMSI)