Opini: Mencari Ujung Drama Ahok vs BPK

 Opini: Mencari Ujung Drama Ahok vs BPK

Kang Ujang Komarudin, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia

Oleh : Kang Ujang Komarudin (*)

Beberapa pekan ini, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama seolah tak pernah lepas dari sorotan media massa. Basuki atau lebih kerap disapa Ahok menjadi tajuk utama berita atas beberapa isu.

Yang paling santer adalah terkait Reklamasi Teluk Jakarta, penggusuran Pasar Ikan Luar Batang, serta pembelian lahan RS Sumber Waras. Isu yang terakhir tadi telah menjadi pemicu panasnya hubungan Ahok dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Audit BPK dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2014 menyimpulkan bahwa pengadaan lahan RS Sumber Waras tidak melalui proses memadai sehingga berindikasi merugikan Pemprov DKI Jakarta karena kelebihan bayar sebesar Rp191,3 miliar.

Yang menjadi pokok permasalahan adalah perbedaan persepsi NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) RS Sumber Waras yang sedianya akan dijadikan Rumah Sakit kanker dan jantung itu. BPK menilai NJOP yang telah dibayar Pemprov DKI Jakarta lebih tinggi dari nilai yang seharusnya.

Ini memang problematik, karena BPK mengalkulasi NJOP ini berdasar alamat di Jalan Tomang Utara, sedangkan Pemprov DKI mengalkulasi NJOP merujuk pada alamat di Jalan Kyai Tapa. Selisih NJOP kedua alamat tersebut menjadi pangkal polemik Ahok-BPK ini.

Ditambah dengan suhu politik yang menghangat jelang suksesi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada Februari tahun depan, maka tak pelak kasus ini menjadi perbincangan publik.

Namun mari kita telusuri dengan jernih, mendudukkan permasalahan secara obyektif tanpa sentimen tertentu.

BPK adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BPK sesuai tugasnya membuat laporan dan temuan keuangan atas lembaga yang mengelola keuangan negara, lalu menyampaikan laporan dan temuan ke aparat penegak hukum (KPK, polisi, kejaksaan).

Mulanya, Ahok mengaku sudah pernah melaporkan hasil audit BPK ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK pada Agustus 2015 lalu. Namun hingga kini, Ahok mengaku tak ada tanggapan dari majelis.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Agustus tahun lalu menyelidiki dugaan korupsi ini dan meminta BPK untuk mengaudit ulang. Audit investigasi sudah diserahkan BPK, dan hingga kini penyelidikan masih dilakukan oleh KPK.

KPK telah memeriksa Ahok (12/04) lalu. Pemeriksaan berlangsung lebih dari 12 jam. Sampai dengan hari ini belum ada pernyataan dari KPK yang mengarah adanya unsur korupsi dalam proses pembelian lahan RS Sumber Waras.

Adalah mengaburkan masalah jika kita hanya berfokus pada argumentasi Ahok dengan BPK, dalam hal ini diwakili oleh Ketua BPK sendiri, Harry Azhar. Karena jika demikian, nuansa politis akan lebih mengental.

Pertanyaan yang perlu diungkap sebetulnya sederhana saja: apakah ditemukan pelanggaran secara hukum dalam selisih NJOP versi Ahok dengan versi audit BPK? Selanjutnya jika benar ada pelanggaran, ke mana aliran selisih dana tersebut? Ini yang harus menjadi fokus perhatian utama.

Cross-check kepada lembaga terkait perlu dilakukan. Untuk mengecek besaran NJOP dapat dilihat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang telah dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak.

Sedangkan sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan, dapat dicek melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Hukum harus menjadi pisau bedah yang mengurai anatomi sebuah polemik yang tidak akan pernah selesai dengan hanya berargumen di media massa. Hukum juga tidak pilih-pilih, tidak ada unsur suka-tidak suka dalam menelaah persoalan.

Meminjam sebuah ungkapan lama, selalu ada tiga sisi dalam sebuah bangunan cerita: sisi saya, sisi Anda, dan sisi kebenaran. Inilah tugas utama hukum, mengungkap kebenaran.

Sementara bagi kedua pihak yang berseteru, yaitu Pemprov DKI dengan Ahok sebagai punggawanya, dan BPK dengan Harry Azhar sebagai pucuk pimpinannya, semoga keduanya tidak lagi mengumbar pernyataan-pernyataan kontra-produktif yang hanya akan memperkeruh situasi.

Ahok dan Harry Azhar sama-sama sebagai pejabat publik, keduanya bagian dari mesin pemerintahan yang seyogyanya saling bersinergi dalam menjalankan tupoksinya.

Akan lebih elok apabila Ahok maupun BPK dapat saling menahan diri, dan mempersilakan aparat penegak hukum menuntaskan tugasnya.

Kang Ujang Komarudin
(Pengamat Politik Universitas Alzhar Indonesia, Jakarta)

Facebook Comments Box