Opini: Nasib Petani vs Keuntungan Besar Tengkulak

 Opini: Nasib Petani vs Keuntungan Besar Tengkulak

Saat harga itu sepantasnya diperoleh petani. Bukan justru hasil pertanian buat tengkulak

Oleh: Firman Soebagyo* 

Dari tahun ke tahun para nasib nelayan di Pantura semakin memprihatinkan. Hal ini bukan rahasia lagi, khususnya setelah saya mengunjungi para nelayan dalam rangka kunjungan reses ke desa Alas Dowo, Kec Dukuh Seti, dan desa Trangkilan kec Margoyoso, Desa Bulungan kec Tayu Tasik Agung Kec Rembang, Pati, Jawa Tengah.

Ketiadakpastian ini sudah berlangsung dua kali lebaran akibat kebijakan Peraturan Kementeri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2015 Tentang Pelarangan Penggunaan Alat Cantrang.

Hal tersebut semakin diperparah karena aparat kepolisian Pol air dan TNI AL yang juga melakukan penangkapan yang kadang tidak jelas apa kesalahan nelayan.

Alasan itu, saya meminta kepada pemerintah dan Presiden Jokowi agar benar-benar memahami kondisi rakyat yang semakin menderita selama ini. Khususnya memasuki bulan puasa 1437 Hijriyah.

Saya mencurigai kebijakan menteri KKP ada indikasi adanya agenda terselubung oleh menteri KKP karena menteri juga pelaku usaha di sektor perikanan yang cukup berhasil.

Oleh karena itu, kita harus waspada jangan sampai kekuasaan yang dimilikinya itu bukan untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan usahanya dan bersama kelompoknya.

Sebagai bangsa kita cukup mengawatirkan bahwa persoalan nelayan tidak bisa dianggap sepele karena menyangkut masalah perut. Oleh karena itu, kalau tidak ada kebijakan yang bisa menjawabnya maka kesulitan rakyat iti selam a hampir 2x lembaran ini bisa menimbulkan kemarahan rakyat.

Apalagi saat yang bersamaan petani juga dihadapkan kepada persoalan yang sama, di mana posisi petani sedang panen raya bawang merah. Tapi para petani bawang tak mendapatkan keuntungan seimpal.

Untuk itu, pemerintah dapat segera memperbaiki tata niaga dengan segera Badan Pangan Nasional agar pertanian dan peternakan mampu membuat harga daging di Indonesia lebih mahal daripada di Malaysia.

Terkait dengan komoditi beras, harga cenderung naik apabila pemerintah tidak memiliki cadangan stok (buffer stock) yang cukup.

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, cadangan pangan nasional adalah persediaan pangan di seluruh wilayah Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim melambungnya harga bawang merah sejak akhir 2015 lalu tidak disebabkan oleh kurangnya pasokan komoditas pangan itu dari tingkat petani, melainkan karena rantai pasokan yang panjang.

Menjelang memasuki bulan puasa (05/06/2016) saat para petani menjualnya, para pedagang hanya dibelinya dengan yang sangat murah, harga di bawah Rp20 ribu / kg.

Sedangkan di pasaran harga sudah mencapai 40 ribu. Itu artinya mereka para pedagang atau tengkulak mendapatkan keuntungan 50% dari harga yang ada.

Ini sangat memprihatinkan. Petani yang bersusah paya bercocok tanam hingga mengeluarkan modal besar untuk membeli hingga merawatnya. Di sisi lain, pemerintah tidak ada kemampuan mengendalikan perilaku tengkulak yang menekan petani.

Belum lagi pada persoalan para peternak sapi. Para peternak mengeluh jual sapi hidup sangat murah di tengah harga di pasaran yang sangat mahal.

Muncul hanya Rp 40.000 per kg dan menjualnya harga daging di pasaran sudah mencapai angka Rp120 ribu per kg. Luar biasa keuntungan para tengkulak itu.

Semua makin dipersulit jika pemerintah selalu mencari jalan pintas impor sebagai solosi untuk mengatasi tingginya harga pasaran tanpa mengurai persoalan utamanya terlebih dahulu.

Miris melihat nasib para petani. Maka petani dan peternak yang akan jadi korban kebijakan pemerintah. Di mana keperpihakan pemerintah kepada petani, peternak dan nelayan Indonesia?

* Anggota Komisi IV & Wakil Ketua Baleg DPR RI Dapil Jawa Tengah III (Sekretaris Dewan Pakar DPP Partai Golkar)

Facebook Comments Box