Opini: Spirit Kemerdekaan, Pancasila, dan UUD 1945

 Opini: Spirit Kemerdekaan, Pancasila, dan UUD 1945

Mayjen TNI (Purn) Drs. Hendardji Soepandji, SH Mantan Dan Puspomad & Aspam KASAD

Pada 17 Agustus 71 tahun lalu, presiden pertama Republik Indonesia Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

Naskah Proklamasi yang dirumuskan Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, dan S. Miyoshi itu benar-benar menjadi tonggak sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Dalam pidato pembuka jelang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Soekarno juga menyatakan bahwa ”Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya”.

Itu menunjukkan bahwa Soekarno yakin bangsa Indonesia sudah siap menempuh hidup baru, yakni lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang selama 350 tahun. Dalam hemat saya, keyakinan itu tentu saja tak lepas dari persiapan yang sudah dibangun Soekarno dan seluruh pendukung kemerdekaan Indonesia jauh sebelum itu. Salah satunya, Soekarno sudah memiliki rumusan konsep Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Bahkan, konsep Pancasila itu sudah dibuat sejak 1 Juni 1945, jauh sebelum Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom pada 6 dan 9 Agustus 1945 yang berakhir dengan menyerahnya tentara Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus. Untuk menguatkan kedudukannya sebagai dasar negara Indonesia, malah konsep dasar Pancasila tersebut dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, atau satu hari setelah Soekarno- Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Karena itulah, terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia berbentuk Republik (NKRI) di mana kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk belakangan, yakni pada 29 Agustus 1945. Jadi, konsep Pancasila itulah yang membuat Soekarno-Hatta berani mengambil nasib di tangan sendiri dengan keluar dari belenggu penjajahan.

Beliau yakin konsep lima sila itu mampu menjadi ideologi, falsafah, dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi dan falsafah merupakan paham integralistik. Artinya, semua sila dalam Pancasila bisa dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan. Nomor urut dalam Pancasila juga hanya menunjukkan hierarki, tapi tidak bisa sebagai sesuatu hal yang diprioritaskan karena semua sila dalam Pancasila adalah suatu hal yang sama pentingnya.

Sila pertama akan menjiwai sila ke-2, 3, 4, dan 5. Begitu juga, sila ke-2 dijiwai sila pertama dan menjiwai sila ke-3, 4, 5, dan seterusnya. Jadi, secara filosofi Soekarno memikirkan Pancasila sebagai dasar Indonesia merdeka itu dalam rumusan yang abadi dan saling bersinergi. Artinya, melaksanakan sila pertama tanpa nomor 2, 3, 4, dan 5 bukanlah Pancasilais. Begitu juga melaksanakan sila ke-1, 2, 3, dan 4 tanpa sila ke-5 juga bukan Pancasilais karena semua sila dalam konsep Pancasila Soekarno harus dijalankan secara integralistik.

Apalagi, Pancasila sebagai ideologi negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 merupakan sumber dari segala sumber hukum terhadap semua aturan yang ada di bawahnya. Sehingga, batang tubuh dalam UUD 45 haruslah menunjukkan pengejawantahan dari Pancasila yang integralistik.

Dulu, para pendiri bangsa juga mengatakan bahwa UUD 45 tersebut harus luwes sehingga mampu menampung dinamika perubahan. Karena itu, UUD 45 hanya memuat hal-hal yang pokok agar tidak selalu berubah, tapi mampu menampung perubahan. Intinya, perubahan itu ada pada UU di bawahnya, bukan pada hal yang pokok.

Dalam memahami makna kemerdekaan, Pancasila, dan UUD 45 itu tidak cukup hanya memahami pasal demi pasal, tapi harus mengerti suasana kebatinan ketika rumusan Pancasila dan UUD 45 itu disusun. Sebab, dasar negara itu dibuat saat Indonesia genting di mana seluruh rakyat Indonesia berada di bawah tekanan kaum penjajah.

Tapi, kenapa produk luhur bangsa tersebut, terutama UUD 1945, tidak bisa lagi dijaga keasliannya di masa kemerdekaan ini? Apakah ini bagian dari kecintaan terhadap kemerdekaan atau hanya demi mengadopsi situasi dan kepentingan politik yang berkembang di Indonesia? Karena itu, penulis berpandangan bahwa empat amandemen UUD 1945 yang dibuat pada 1999-2002 adalah jauh api dari panggang, yang tidak memahami suasana kebatinan ketika UUD 45 dibuat.

Suatu contoh adalah amendemen ke-3 pada pasal 1 di mana MPR sudah bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara karena perwujudan rakyat yang berdaulat itu tidak lewat MPR, tapi lewat undangundang. Jadi, kini tidak ada lagi representasi dari rakyat yang berdaulat. Sebab, MPR sebagai lembaga tertinggi negara telah dianulir menjadi lembaga tinggi negara dengan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada lembaga tinggi negara lainnya dengan melahirkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Istilah negara kesatuan pun tinggal nama dan berubah rohnya menjadi negara liberal yang bertentangan dengan sila ke-4 yang menjadi roh Demokrasi Pancasila, yaitu sistem perwakilan dan musyawarah mufakat. Selain itu, munculnya Bab X Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah menganulir bahwa Pancasila adalah paham integralistik yang harus dipahami secara utuh dan saling berhubungan satu sama lain.

Yang tidak ada yang satu lebih penting dari yang lain. Padahal, HAM adalah bagian dari sila ke- 2, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab yang menjadi bagian dari sila-sila dalam Pancasila, bukan sesuatu yang lebih diutamakan dalam Pancasila sebagai ideologi negara. Amendemen ketiga dan keempat pasal 1 (1) negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, (2) kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.

Bunyi pasal 1 (2) ini mereduksi pasal 1 (1) dan berlawanan dengan pokok pikiran alinea ke-3 Pembukaan UUD 45 yang berbunyi negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Juga, amendemen itu bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Karena perwakilan rakyat yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun MPR sudah bukan lagi sebagai lembaga tertinggi, bagaimana itu bisa dikatakan sebagai rakyat yang berdaulat? Sebab, kekuasaan MPR sudah dipecah atau dibagi ke DPD, MK, dan KY, sehingga MPR tidak lagi mempunyai kekuasaan memilih dan menetapkan presiden. MPR hanya melantik presiden serta tidak punya kewenangan menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dalam kondisi seperti itue sama saja kedaulatan rakyat digerogoti, otoritas negara dilemahkan, dan meningkatnya derajat kebebasan yang nyaris tanpa batas. Sebab, istilah negara kesatuan tinggal nama sesuai bunyi pasal 1 (1), tapi telah digergaji sendiri lewat bunyi pasal 1 (1) oleh pasal 1 (2).

Kondisi itu juga akan memperbesar ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik ancaman terhadap ideologi negara, lemahnya wawasan kebangsaan, ancaman terhadap politik negara, ancaman terhadap perekonomian nasional, dan munculnya neoliberalisme karena berkembangnya sistem ekonomi kapital akibat kedaulatan rakyat sudah direduksi Demokrasi Pancasila juga telah dihancurkan oleh bunyi pasal 1 (2).

Padahal, inti Demokrasi Pancasila adalah gotong royong dan musyawarah mufakat. Namun, kini semua berubah menjadi demokrasi liberal lewat perubahan pada pasal 1 (2) UUD 1945. Menurut saya, semua itu terjadi karena pengaruh kekuatan asing yang telah menjadi drakula dalam demokrasi di Indonesia dan terjadinya pergeseran nilai di Indonesia dari masyarakat paguyuban ke masyarakat patembayan yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut saya, liberalisme yang terus berkembang telah melemahkan otoritas negara, dan itu akan menjadi ancaman sangat serius terhadap pertahanan dan keamanan negara, terutama terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI yang terus tergerus oleh infiltrasi kekuatan asing dengan tanpa disadari.

Oleh karena itu, dalam memaknai HUT ke-71 RI, kunci solusi keadaan ini adalah mengembalikan demokrasi liberal ke demokrasi Pancasila yang sudah menjadi identitas nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dalam kata lain, kembalikan jati diri bangsa dan negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 naskah asli.

MAYJEN TNI (PURN) DRS. HENDARDJI SOEPANDJI, SH
Mantan Dan Puspomad & Aspam KASAD (Dikutip dari Koran Sindo)

Facebook Comments Box