OPTIMISME DALAM TAUBAT: Hikmah dalam Kisah Pembunuh Seratus Nyawa

 OPTIMISME DALAM TAUBAT: Hikmah dalam Kisah Pembunuh Seratus Nyawa

Oleh: Munawir K, Dosen UIN Alauddin Makassar

رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ رضي الله عنه أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

“كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ، فَاعْبُدِ اللَّهَ مَعَهُمْ، وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ، فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ، فَانْطَلَقَ حَتَّى نَصَفَ الطَّرِيقَ، فَأَتَاهُ الْمَوْتُ، فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلَائِكَةُ الْعَذَابِ، فَقَالَتْ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ، وَقَالَتْ مَلَائِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ، فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ، فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ، فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ، فَقَاسُوهُ، فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ، فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ”
(HR. Bukhari, no. 3470; Muslim, no. 2766)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dahulu, di antara umat sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian dia bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi. Dia ditunjukkan kepada seorang rahib (pendeta), lalu dia mendatanginya dan berkata, ‘Aku telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah aku masih bisa bertaubat?’ Rahib itu menjawab, ‘Tidak.’ Maka dia pun membunuh rahib tersebut, sehingga genaplah menjadi seratus orang. Kemudian dia kembali bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi. Dia ditunjukkan kepada seorang alim, lalu dia mendatanginya dan berkata, ‘Aku telah membunuh seratus orang, apakah aku masih bisa bertaubat?’ Orang alim itu menjawab, ‘Ya, siapa yang dapat menghalangimu untuk bertaubat? Pergilah ke negeri ini dan ini, di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu karena negeri itu negeri yang buruk.’

Maka berangkatlah ia. Ketika berada di tengah perjalanan, kematian menjemputnya. Lalu para malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih tentangnya. Malaikat rahmat berkata, ‘Dia datang dalam keadaan bertaubat, hatinya menghadap kepada Allah.’ Namun malaikat azab berkata, ‘Dia belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’

Maka datanglah seorang malaikat dalam wujud manusia di antara mereka, dan malaikat itu berkata, ‘Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut. Kepada mana dia lebih dekat, maka itulah bagiannya.’ Mereka mengukurnya dan mendapati bahwa dia lebih dekat kepada negeri yang ia tuju. Maka dia pun dibawa oleh malaikat rahmat.”

Pelajaran dari Hasits ini:

Hadits atau Kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang prinsip taubat dalam Islam, yang menunjukkan bahwa rahmat Allah tidak terbatas, bahkan bagi mereka yang telah melakukan dosa-dosa besar.

Melalui kisah pembunuh seratus orang ini, kita diajarkan bahwa pintu taubat selalu terbuka bagi setiap hamba yang sungguh-sungguh ingin kembali kepada Allah. Berikut ini uraian mendalam dan analitis, serta komprehensif, yang menguraikan pelajaran dari hadits diatas:

1. Taubat dan Rahmat Allah yang Tak Terbatas

Hadis ini menunjukkan bahwa Allah membuka pintu taubat bagi siapa pun yang benar-benar bertaubat, tidak peduli seberapa besar dosanya. Orang yang telah membunuh seratus orang tetap diberi kesempatan untuk bertaubat, menunjukkan sifat Allah yang Maha Pengampun.
Allah SWT berfirman:

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
(Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”) – (QS. Az-Zumar: 53)

Ayat ini menggarisbawahi bahwa rahmat Allah mencakup segala dosa, memberikan pengharapan bagi semua manusia yang benar-benar ingin bertaubat.

2. Taubat Sebagai Langkah Nyata untuk Berubah

Taubat dalam Islam tidak hanya sekedar pengakuan dosa, tetapi juga harus diiringi dengan perubahan nyata. Dalam kisah ini, orang yang bertaubat diminta untuk meninggalkan tempatnya yang penuh dosa dan menuju lingkungan yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa proses taubat harus diikuti dengan tindakan nyata untuk menjauhi perbuatan buruk. Rasulullah SAW bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
(Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.) – (HR. Ibnu Majah, no. 4250)

Hadis ini menekankan pentingnya taubat yang tulus, yaitu bertaubat dengan hati yang ikhlas dan meninggalkan kebiasaan buruk yang dilakukan sebelumnya.

3. Peran Lingkungan yang Baik dalam Membantu Proses Taubat

Dalam kisah ini, orang alim menasihati pembunuh tersebut untuk pergi ke tempat lain yang penuh dengan orang-orang yang beribadah. Ini menegaskan pentingnya lingkungan yang baik dalam memperkuat komitmen taubat seseorang. Rasulullah SAW bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
(Seseorang itu akan mengikuti agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian memperhatikan siapa yang dijadikan teman dekatnya.) – (HR. Abu Dawud, no. 4833)

Hadis ini mengajarkan bahwa lingkungan dan teman memiliki pengaruh besar dalam membentuk perilaku seseorang, terutama dalam menjalankan agama dan komitmen terhadap taubat.

4. Keadilan dan Kebijaksanaan Allah dalam Mengukur Niat Hamba-Nya

Malaikat yang diperintahkan untuk mengukur jarak antara tempat dosa dan tempat ibadah menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan Allah. Allah tidak hanya melihat perbuatan lahiriah, tetapi juga niat dan usaha hamba-Nya dalam berbuat baik.Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
(Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.) – (HR. Bukhari, no. 1)

Niat pembunuh tersebut untuk bertobat dan keinginan kuat untuk mendekat kepada Allah menjadi faktor yang Allah lihat dan memberikan keputusan penuh rahmat kepadanya.

5. Sifat Allah yang Maha Pengampun Mengungguli Sikap Penghakiman

Kisah ini menegaskan bahwa Allah lebih memilih untuk mengampuni hamba-Nya daripada mengazab. Sikap ini mengajarkan kita agar tidak tergesa-gesa menghakimi orang lain, bahkan ketika mereka telah melakukan dosa besar.

Sahabat Nabi Ibn Mas’ud RA. berkata:

لَوْ أَخْطَأْتَ فِي العَفْوِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تُخْطِئَ فِي العُقُوبَةِ
(Jika kamu keliru dalam memberi maaf, itu lebih baik bagimu daripada kamu keliru dalam memberi hukuman.) – (Diriwayatkan dalam al-Muwaththa’, Malik)

Perkataan sahabat ini menegaskan bahwa mengedepankan sikap pemaaf lebih utama daripada tergesa-gesa dalam memberi hukuman, sesuai dengan sifat Allah yang Maha Pengampun.

6. Optimisme dalam Taubat

Orang yang telah bertaubat tidak boleh berputus asa terhadap rahmat Allah. Sikap optimis sangat penting dalam memperkuat komitmen taubat dan keyakinan bahwa Allah menerima taubat setiap hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.
Allah SWT berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
(Dan Dia-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan serta mengetahui apa yang kamu kerjakan.) – (QS. Asy-Syura: 25)

Ayat ini memberikan pengharapan bahwa taubat yang ikhlas diterima Allah, sehingga setiap hamba didorong untuk selalu optimis dalam memohon ampunan.

PENUTUP

Hadis ini memberikan pelajaran yang sangat luas tentang kasih sayang dan keadilan Allah. Rahmat-Nya yang tidak terbatas, keadilan dalam menilai niat, serta optimisme dalam taubat, adalah nilai-nilai yang penting dalam Islam. Islam mengajarkan bahwa selama seseorang masih memiliki niat untuk kembali kepada Allah, pintu taubat akan selalu terbuka, mengingatkan kita untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah dan berusaha dalam kebaikan.

Pelajaran Tambahan untuk Kehidupan Modern

Tidak Menyerah dalam Perbaikan Diri: Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak menyerah dalam perbaikan diri, karena Allah menilai niat dan usaha hamba-Nya.

Pengaruh Positif Lingkungan:
Pentingnya bergabung dengan komunitas yang mendukung nilai-nilai positif agar dapat bertahan dalam perubahan.

Perlunya Sikap Pemaaf dalam Masyarakat: Kita diingatkan untuk tidak cepat menghakimi orang lain yang berusaha berubah, tetapi mendukung mereka dalam proses perbaikan diri.

Dengan demikian, hadis ini tidak hanya relevan bagi umat terdahulu, tetapi juga memberikan inspirasi abadi bagi siapa saja yang berniat untuk kembali ke jalan Allah.

Facebook Comments Box