Patung Shio Vihara Avolikitesvara Jatuh, Pertanda Buruk untuk Kota Siantar ?
SIANTAR, LintasParlemen.com– – Pada hari Rabu (27/4/20160 lalu, tembok di Vihara Avolikitesvara rubuh dan menjatuhkan 7 patung shio dari 12 patung shio yang ada di Vihara terbesar di Kota Siantar, Sumatera Utara tersebut ke sungai Bah Bolon. Yaitu, patung shio ayam, shio ular, shio naga, shio macan, shio kuda, shio kambing (tanduk patah) dan shio moyet (kehilangan kepala).
Sedangkan lima patung shio lainnya yaitu shio kerbau, anjing, tikus, babi, dan kelinci, tidak jatuh.
Pengurus Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) Kota Siantar Rudi Wu, mengatakan bahwa kejadian tersebut memiliki filosofi bagi penganut kepercayaan yang mempercayai tentang keberadaan shio.
“Secara kebetulan patung-patung Shio itu jatuh, kalau orang menganggap mungkin itu patung biasa saja dan memang itu adalah kejadian alam tetapi bagi yang menganut kepercayaan filosofi patung itu memiliki makna yang lain, percaya atau tidak percaya, dalam gejolak di bidang apapun, di tahun shio monyet atau kera ini, bahwasannya shio manusia yang ber shio babi, kelinci, tikus, dan shio yang tidak jatuh itu artinya mampu bertahan, beda dengan shio yang jatuh itu, jadi kejadian alam itu tidak kebetulan dan dia membawa makna-makna tertentu, terkadang kita tidak bisa memahaminya dengan pikiran nalar kita, artinya bagi kita shio-shio yang jatuh itu agar kita lebih arif lebih bijaksana,” jelasnya saat dikonfirmasi terkait rubuhnya tembok di Vihara Avolikitesvara, Jumat (29/04/2016), kemarin.
Salah satu patung shio yang jatuh adalah patung shio monyet yang mengalami patah dibagian kepala. Rudi menambahkan bahwa kepala adalah pengatur seluruh organ tubuh, sehingga dengan patahnya kepala patung tersebut merupakan pertanda bahwasanya pengatur dalam suatu organinisasi tidak memiliki kemampunan lagi.
“Kepala didalam organ tubuh manusia terletak paling atas dan merupakan organ tubuh yang mengatur organ tubuh lainnya. Jadi filosofinya dengan hilangnya kepala disuatu komunitas atau organisasi maka tidak ada yang mengatur komunitas atau organisasi tersebut,” terang mantan Ketua Legislasi DPRD Kota Siantar ini.
Melihat kondisi Kota Siantar yang sampai saat ini tidak memiliki kepala daerah definitif dalam hal ini walikota, Rudi mengatakan berdasarkan filosofi jatuhnya patung-patung shio tersebut, kemungkinan Kota Siantar tidak memiliki Pemimpin yang diinginkan masyarakat Kota Siantar.
“Jika dikaitkan dengan filosofi tersebut dengan realitanya saat ini, Kota Siantar memang tidak memiliki kepala daerah defiinitif. Walaupun nanti di Kota Siantar ada pemimpin tetapi mungkin bukan pemimpin yang sebenarnya, karena pemimpin yang sebenarnya itukan bisa mengayomi, dan bertanggung jawab. Saya berharap ke depan Siantar dan Negara ini memiliki Pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat dan bertanggung jawab,” ujarnya menambahkan.
Diakhir pembicaraan Rudi yang pernah menjadi anggota DPRD Kota Siantar Periode 2009-2014, menyampikan bahwa hal ini adalah suatu pelajaran untuk membangun suatu bangunan dengan mengantisipasi kejadian alam.
“Kita bicara logis aja yah, kejadian itukan suatu bencana, inikan hujan deras dan sungai bah bolon kan meluap, ini pelajaran buat kita semua kedepannya, membangun suatu bangunan harus memprediksi kejadian-kejadian alam yang tidak bisa kita prediksi kapan akan terjadi, oleh karena itu kita harus antisipasi,” tutupnya.
[Indra Abdilla Arief]