Pelantikan Joe Biden dan Pelajaran Demokrasi atas Pembangkangan Trump
Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Ketua Fraksi PPP DPR RI
Washington tegang menjelang pelantikan Presiden Joe Biden dan Kemala Harris, 20 Januari 2021. Kondisi ini terbentuk akibat pembangkangan Presiden Trump terhadap demokrasi dan pemberontakan pengikutnya yang gagal menguasai gedung Capitol Hill 6 Januari 2021 lalu.
Ya, itulah ironi Amerika di abad 21. Demokrasi Uncle Sam membusuk. Hal itu publik rasakan sejak Presiden Donald Trump kalah dalam Pilpres Amerika 3 November 2020. Sang pecundang Trump menyebar hoax bahwa kemenangannya dicuri dalam Pemilu yang curang. Kemenangan Joe Biden-Kemala Harris, cuit Trump, adalah perampokan suara dalam Pilpres AS terburuk selama ini.
Trump tidak bisa membuktikan tuduhannya. Tapi cuitannya di Twitter telah “menempel” di otak para pengikut dan pemilihnya, dari Partai Republik. Sampai ketika DPR dan Senat mengesahkan kemenangan Biden-Haris di gedung Capitol Hill, 6 Januari lalu, Trump tetap bersikukuh, bahwa kekalahannya karena dicurangi. Ia pun mengerahkan pengikutnya untuk menduduki Capitol Hill, Washington. Simbol demokrasi AS selama 2,5 abad itu pun tercederai.
Ketua DPR, Nancy Pelosi, menyatakan Trump dan pengikutnya telah melakukan pemberontakan terhadap demokrasi Amerika.
Pemilu 2020 di AS, tulis Washington Post, adalah terburuk dalam satu abad terakhir. Para pendukung dua capres bentrok di mana-mana seperti layaknya pemilu di negeri-negeri Afrika yang baru menerapkan demokrasi. Pendukung Trump-Pence terlihat sangat bringas dan merusak fasilitas umum dalam berbagai bentrokan. Termasuk ketika menguasai Capitol Hill. Mereka merusak ruang DPR, bahkan mencuri laptop Nancy Pelosi.
Francis Fukuyama — profesor ekonomi politik dari Stanford University — menulis buku khusus tentang Trump berjudul Identity, The Demand for Dignity and The Politic of Resentment (2018). Dalam kata pengantarnya, Fukuyama mengatakan, buku itu tidak akan ditulis bila Donald Trump tidak menang.
Pasti ada yang salah dalam demokrasi sehingga tokoh demagog seperti Trump menang dalam pemilu Amerika. Sampai-sampai Fukuyama menuduh lembaga lembaga demokrasi di Amerika makin membusuk sehingga dikuasai kaum demagog.
Fukuyama menyatakan lembaga-lembaga Amerika membusuk karena negara semakin dikuasai oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri. Trump sendiri adalah produk kerusakan dan kebusukan itu.
Fukuyama berpendapat bahwa Trump mewakili tren yang lebih luas dalam politik internasional, menuju apa yang disebut nasionalisme populis. Para pemimpin populis berusaha menggunakan legitimasi yang didapatnya lewat pemilu demokratis niretis yang menghalalkan semua cara, termasuk fitnah, untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
Mereka — para demagog itu — mengklaim mempunyai hubungan karismatik langsung dengan “rakyat”. Apa yang dimaksud dengan rakyat, para demagog mendefinisikannya secara sempit berdasarkan sentimen rasisme. Mereka tidak menyukai institusi dan berusaha merongrong checks and balances yang membatasi kekuatan pribadi seorang pemimpin dalam demokrasi liberal modern: pengadilan, badan legislatif, media independen, dan birokrasi nonpartisan.
Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018), juga menyebut Trump sebagai demagog. Bagaimana mungkin sebuah partai besar, Republik, menyalonkan seorang demagog ekstrim untuk presiden Amerika, tulis Levitsky & Ziblatt.
Amerika gagal dalam tes pertama pada November 2016, ketika memilih presiden yang diragukan kesetiannya terhadap norma-norma demokrasi. Kemenangan mengejutkan Donald Trump dimungkinkan tidak hanya oleh ketidakpuasan publik—terhadap kondisi waktu itu, antara lain tingginya angka pengangguran—tetapi juga oleh kegagalan Partai Republik untuk memilih calon presiden yang mengusung moral dan nilai demokrasi.
Partai Republik seharusnya tahu bahwa demokrasi tak sekadar kertas suara. Tapi juga moralitas manusia. Demokrasi bukan benda mati yang bisa diisi apa pun. Sebaliknya demokrasi adalah benda hidup yang hanya mau menerima norma dan etika.
Tragedi demokrasi era Trump di Amerika bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Sebagai negeri multietnis dan multikultural, Indonesia seperti halnya Amerika, menghadapi hal yang nyaris sama. Yaitu berusaha membangun demokrasi bermoral dan beretika dengan basis multietnikal dan multikultural.
Dalam Pilpres 2019 dan beberapa Pilkada di Indonesia, benih-benih perpecahan akibat anasir demagogi mulai bermunculan. Fitnah dan hoax selama kampanye Pilpres 2019, misalnya, begitu meluas sehingga nyaris menimbulkan disintegrasi nasional. Untunglah, para politisi kita, mampu mengatasi dan meredam gejolak demagogi itu.
Sebagai bangsa yang punya dasar Pancasila di mana Ketuhanan menjadi basis sila-sila lainnya, mestinya, jika ada gejala demagogi dalam demokrasi, setiap warga negara harus menghentikannya. Dalam bernegara, tanggungjawab moral bukan sekadar kewajiban yang harus diusung organisasi politik dan sosial, tapi juga individual.
Peristiwa Capitol Hill dan pembangkangan Trump terhadap demokrasi yang bermoral, memberi pelajaran kepada kita bahwa menjalankan demokrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan dan menuruti nafsu kekuasaan. Demokrasi itu hidup dalam sebuah prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kita berharap pelantikan Biden-Harris sebagai Presiden AS, 20 Januari 2021, merupakan “standing point” untuk mengembalikan jati diri demokrasi yang dirusak demagog Trump. Di bawah Biden-Harris, dunia percaya, Amerika yang telah berpengalaman menerapkan demokrasi selama hampir dua setengah abad, akan kembali kokoh sebagai negara demokrasi yang berkeadaban dan berkeadilan. []