Pengusaha Singkong: Impor Singkong Itu Membunuh Usaha Kami
PATI – Katanya, bangsa ini harus berdaulat di negara sendiri. Namun faktanya, sangat susah bagi masyarakat kecil memperoleh kedaulatannya sendiri saat berhadapan dengan ‘pemilik kekuasaan’.
Hal itu dialami oleh Mashuri Cahyadi, pengusaha asal Pati yang memilih pilihan hidup bergerak di bidang industri kecil menengah (IKM) untuk menghidupi keluarga anak istri.
Menurut Mashuri, baginya sebagai seorang petani singkong di Pati sangat mengalami nasib tragis. Mashuri dan kawan-kawannya, sempat menyampaikan keluhan yang dialaminya kepada Anggota Komisi IV DPR RI asal Pati dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo.
Dari pertemuan dengan Firman Soebagyo itu, Mashuri dan kawan seperjuangannya mengetahui bahwa kedaulatan di negeri sendiri masih dalam sebatas retorika belaka. Namun, ia tak patah arang berjuang.
“Kami sangat bersedih dengan adanya kebijakan (pemerintah, red) melakukan impor. Dan sebagaian dari kami rela untuk tidak panen, ketimbang harus dihargai dengan sangat murah dan tidak layak dari hasil kerja keras kami,” kata Mashuri saat berbincang dengan Firman Soebagyo, Pati Rabu (19/7/2017).
Seperti diwartakan, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat bahwa Indonesia masih gemar mengimpor singkong dari luar negeri. Data menunjukan di bulan Januari-April, impor singkong yang masuk ke Indonesia mencapai 1.200 ton.
Sementara Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menjelaskan bahwa impor singkong dilakukan oleh pelaku usaha tanpa campur tangan pemerintah.
“Beberapa waktu lalu, saya ditanya oleh petani, kenapa pelaku usaha membeli singkong dengan murah. Saya jawab, kalau saya beli dan produksi, terus saya jual ke mana? Karena tak ada yang mau beli. Selama ini, tapioka berkurang permintaan dipasaran karena adanya singkong impor,” sesal Mashuri.
Mashuri sangat menyayangkan kebijakan impor itu di saat ketersediaan singkong di Pati mengalami surplus. Padahal, kualitas tapioka di Pati dikatakan sudah berstandar internasional ISO. Menurut Mashuri, kebijakan impor itu tak masuk akal.
“Ada yang bilang, tapioka lokal tidak memenuhi spesifikasi, buktinya masih ada perusahaan besar yang menerapkan standar ISO yang masih pakai tepung lokal kami meski kapasitasnya tidak besar,” bebernya.
Mashuri membeberkan ada beberapa perusahaan yang enggan memakai tepung lokal, seperti PT Fajar Surya Wisesa, PT Sinar Mas, PT Japfa, PT Cheil dan masih banyak lain.
Adapun perusahaan besar dan menengah yang masih menggunakan tepung tapioka asal Pati seperti PT Moundrem Karton dan PT Mekabox Karton di Jawa Timur, PT Cipta Paperia di Banten, hingga perusahaan bumbu PT Ajinomoto.