Penyuapan: Antara Bukti dan Dugaan

===================
Oleh: Andi W. Syaputra*
Dalam kasus OTT Patrialis Akbar saya bersikap hati2 dalam menyebar postingan yang bersifat membela atau sebaliknya membenarkan. Kasus OTT Patrialis serupa dengan perkara OTT KPK yang pernah saya tangani yakni perkara SKK Migas dengan terdakwa Ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini.
Dalam perkara itu, tak ditemukan siapa orang yang menyuruh mengantarkan sejumlah ratusan ribu dolar ke rumah RR.
Lazim dalam setiap OTT, seseorang yang dibidik menjadi target operasi oleh KPK sudah diawasi & disadap oleh penyidik setidaknya dalam 2 bulan sebelumnya. Boleh jadi, dalam.kurun waktu 2 bulan tersebut penyidik telah menemukan titik terang berupa adanya percakapan antara si penerima dengan si penyuap.
Kendati, percakapan lewat telepon dapat menjadi petunjuk bagi penyidik untuk menyimpulkan telah terjadi percobaan penyuapan tapi tetap saja penyidik mesti menemukan peristiwa penyuapan itu telah berlangsung. Ada penyerahan uang dari pemberi kepada penerima suap.
KUHP membedakan dua jenis penyuapan, yakni penyuapan aktif & penyuapan pasif. Penyuapan aktif diatur dalam pasal 209 & 210 KUHP, sedangkan penyuapan pasif diatur dalam pasal 418, 419 & 420 KUHP.
Sedangkan, penyuapan dalam UU Tipikor dikenal pada pasal 12 huruf a yang dikatakan dalam frasa “pemberian suap”. Pasal 12 huruf a itu penerima suap bisa dipidana penjara seumur hidup atau 4 hingga 20 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta hingga 1 milyar rupiah.
Namun, apabila kita melihat bagian penjelasan pasal 12huruf a ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan dan/atau tindakan seseorang “pemberian” dalam ayat ini diartikan luas termasuk pula gratifikasi dimana seseorang memberikan sesuatu berupa uang, benda/barang, viucher maupun fasilitas lainnya kepada pejabat negara.
Tentu, pemberian yang dimaksud adalah pemberian yang berkaitan dengan jabatan & berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya baik sebagai pegawai negeri maupun penyelenggara negara.
Mengenai perbuatan memberi suap atau menerima suap dalam domain korupsi harus pula terlebih dahulu terjawab apakah apakah penerima suap adalah penyelenggara negara/pegawai negeri yang ada kaitannya dengan kerugian yang sangat bagi keuangan & perekonomian negara.
Atau, dalam, kasus PA misalnya pembahasan judicial review yang tengah dibahas mempunyai implikasi menghambat pembangunan nasional.
Namun, bagaimana jika kasus penyuapan & gratifikasi hanya ada niat jahat & tak ada orang yang disuap. Artinya, peristiwa penyuapannya itu sendiri belum terjadi sebagaimana postingan viral berita yang berkaitan dengan peristiwa hukum dalam kasus PA?
Hemat saya, KPK mesti bersikap imparsial menyikapinya dengan tak mengedepankan motif politis semata dengan mengangkangi due proces of law sehingga terkesan menabrak hukum yang berlaku. Meskipun dalam setiap tindakan OTT kerapkali KPK mengandalkan rekaman suara lewat percakapan telepon antara si pelaku dengan penerima suap namun rekaman suara tak bisa dijadikan alat bukti yang kuat di pengadilan lantaran hanya menjadi petunjuk bagi hakim.
Oleh sebab itu, KPK dituntut untuk menjawab semua keraguan publik yang menilai KPK terlalu tergesa2 menangkap & menetapkan PA sebagai Tersangka dengan mengelar alat bukti lain sehingga publik dapat menilai penjelasan yang disampaikan oleh PA maupun BPH yang sudah ditetapkan sebagai Tersangka sebelumnya yang mengaku peristiwa suap tak pernah terjadi diantara mereka berdua.
Kasus OTT PA kemudian memunculkan kembali.ingatan publik atas kasus serupa yang hingga kini penyelesaian hukumnya tak pernah terselesaikan oleh KPK. Yaitu, kasus dua oknum pegawai PT Abipraya yang ditangkap KPK karena hendak menyuap jaksa di Kejati DKI Jakarta berkaitan dengan penghentian kasus yang tengah berjalan di korps adhyaksa tersebut.
Hingga kini KPK belum menetapkan oknum jaksa yang disebut2 akan menerima suap dari dua pegawai PT Abipraya tersebut. Pada kasus tersebut, desakan dari lembaga masyarakat maupun ahli hukum agar KPK segera menetaplan tersangka bagi oknum jaksa tersebut apabila memang penyidik sebelumnya mempunyai keyakinan telah terjadi perbuatan suap.
Sebab, bila mengacu pada pasal suap baik pada KUHP maupun UU Tipikor untuk sekadar membuktikan niat jahat atau percobaan penyuapan merupakan pekerjaan amat sulit tanpa didukung oleh adanya transaksi fisik penyuapan itu sendiri.
Allahu’alam bi sawab
Penulis: Pengamat Hukum