‘Perlukah Menimbang Rejuvinasi Pancasila sebagai Jalan Baru Indonesia?’
JAKARTA – Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa Abdul Ghopur mengatakan, belakangan ini kondisi politik Indonesia terus terjadi kegaduhan politik. Sebuah pertanyaan kritis di masyarakat, masih berfungsikah imaji kolektif kita sebagai bangsa?
Pertanyaan ini disampaikan oleh Ghopur karena bangsa ini secara berturut-turut prestasi buruk diraih di dunia internasional, khususnya persoalan korupsi serta penghasil gembong teroris.
“Kita pemenang lomba korupsi, bangsa penghasil teroris, masyarakat miskin, lamban dalam penanganan bencana alam serta dicap sebagai negara tidak aman untuk berinvestasi, dan lain-lain,” kata Ghopur dalam diskusi ramadhan “Rejuvenasi Pancasila“ di PBNU, Jakarta, Senen (12/6/2017) kemarin.
Dengan sederet prestasi terburuk tersebut, Ghopur kembali bertanya, layakkah warga Indonesia berbangga menjadi sebuah bangsa besar?
Untuk diketahui Rejuvinasi adalah upaya peremajaan pada Pancasila sebagai dasar negara. Di mana semangat untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila seperti apa yang ada dalam butir-butir Pancasila.
“Tentu saja jawabannya sangat tergantung dari posisi apa yang sedang kita jalani sekarang. Jika posisi kita adalah TKI atau pengangguran, maka jelas, Indonesia tidaklah berarti apa-apa,” ujarnya.
Sebaliknya, lanjut Ghopur yang juga kader NU ini, jika posisi patokan kesuksesan Indonesia adalah koruptor, pengusaha hitam, teroris, pejabat pemerintah, dan para penjual ayat-penjual agama. Maka jelas, Indonesia adalah negeri sorga bagi mereka penganut paham tersebut.
Pada saat yang bersamaan, ungkapnya intelektual muda NU ini, mengungkapkan bahwa Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar terkait merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa besar yang multikultural.
Alasan itu Ghopur menilai, masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan.
“Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, secara jujur, kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology (batas psikologis, prasangka) terhadap sesama anak bangsa,” paparnya.
“Itulah ancaman memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal. Ini dapat dibuktikan dengan makin maraknya tawuran antar kampung dan pelajar di berbagai daerah. Tawuran yang terjadi kerap kali mengatasnamakan komunitas, nama besar kampung atau sekolah, ras atau etnis, calon Kepala Daerah bahkan atas nama agama dan Tuhan,” sambung Ghopur. (JODIRA)