PERSETERUHAN: Mengurai dan Menakar Luka di Tengah Konflik yang Tak Sehat
Oleh: Munawir Kamaluddin, Dosen UIN Alauddin Makassar
Di balik gemerlap peradaban manusia, ada gema sunyi yang menyayat hati. Ia datang tanpa diundang, mengusik damai yang begitu diidamkan.
Perseteruan, nama yang sering kali kita hindari, namun tak jarang kita pelihara. Ia menjelma seperti awan hitam di atas hamparan biru langit kehidupan, memerangkap manusia dalam lingkaran ego yang memabukkan.
Seperti duri dalam daging, perseteruan perlahan melukai jiwa, menggoreskan luka yang tak selalu terlihat, tetapi selalu terasa.
Tidakkah hati bertanya, apa yang dicari dalam pertikaian? Apa yang diraih dari perpecahan? Ketika amarah mendominasi dan kebencian menjadi tuan, apakah damai yang hilang mampu dibayar dengan kemenangan semu? Kita adalah makhluk sosial yang dirancang untuk saling melengkapi, tetapi mengapa kerap kali memilih saling melukai? .
Allah SWT. berfirman:
“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا”
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
(QS. Ali Imran: 103)
Namun, betapa sering tali itu dilepaskan demi gengsi, demi harga diri yang fana. Kita lupa bahwa dalam setiap perseteruan, ada hati yang remuk, ada ukhuwah yang retak, dan ada peradaban yang surut. Bahkan Rasulullah SAW. manusia agung yang diutus untuk menyatukan, menangis ketika menyaksikan umatnya terpecah belah. Beliau bersabda:
“إِنَّ أَشَدَّ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي هِيَ الْفِتَنُ”
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah fitnah.”
(HR. Tirmidzi)
Perseteruan: Ujian Jiwa dan Cermin Kehidupan
Perseteruan adalah ujian, bukan sekadar pada hubungan antar manusia, tetapi pada hati setiap insan. Ia menguji kemampuan kita untuk meredam ego, menahan amarah, dan memilih cinta di atas kebencian.
Namun, sering kali manusia gagal. Perseteruan kecil di dalam keluarga dapat berkembang menjadi jurang besar yang tak terjembatani. Konflik di antara kelompok kecil dapat membesar menjadi perang yang melibatkan bangsa-bangsa.
Dampaknya merambat, melampaui sekadar hubungan pribadi. Perseteruan menciptakan masyarakat yang terpecah, negara yang rapuh, bahkan peradaban yang hancur.
Dunia pernah menjadi saksi bagaimana perang atas nama kebanggaan menumpahkan darah tak berdosa, memusnahkan harapan generasi, dan meninggalkan kenangan pahit yang tak mudah dilupakan.
“وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ”
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas.”
(QS. Ali Imran: 105)
Namun, Allah tidak hanya memperingatkan. Dia juga memberikan jalan keluar. Islam hadir bukan untuk memperburuk luka, melainkan menyembuhkan. Islam tidak sekadar mengajarkan bagaimana menghindari konflik, tetapi juga bagaimana mengelola perbedaan dengan hikmah, bagaimana menjadikan perseteruan sebagai pintu menuju kedamaian.
Perseteruan dengan Pendekatan Filosofis dan Solutif
Perseteruan adalah fenomena yang tak terhindarkan dalam interaksi manusia, baik di tingkat individu maupun sosial. Perbedaan karakter, tujuan, dan pandangan hidup sering kali menjadi akar konflik. Namun, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin telah menyediakan solusi mendalam yang tidak hanya bersifat individual tetapi juga komunal, untuk menyelesaikan dan mencegah perseteruan. Allah SWT. Telah berfirman agar kita berpegang teguh semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai satu sama lain seperti pada QS. Ali Imran: 103.
Ayat ini menjadi landasan utama bahwa kebersamaan dan ukhuwah adalah prinsip dalam Islam, sementara perpecahan adalah sesuatu yang dilarang.
Untuk itu, diperlukan pendekatan holistik dan solutif dalam memahami perseteruan, baik dampaknya terhadap individu maupun masyarakat.
Dalam bahasa Arab, perseteruan sering dikaitkan dengan kata khilaf (perbedaan) atau fitnah (ujian atau konflik). Dalam pengertian luas, perseteruan tidak sekadar ketidaksepakatan, tetapi suatu kondisi di mana terdapat benturan kehendak yang berujung pada keretakan hubungan.
Perseteruan sebagai Ujian Hidup
Perseteruan dalam perspektif Islam bukan sekadar fenomena sosial, tetapi juga ujian yang menguji keimanan, kesabaran, dan kebijaksanaan manusia. Allah SWT. berfirman:
“وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا”
“Dan Kami jadikan sebagian kamu ujian bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.”
(QS. Al-Furqan: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa konflik dan perseteruan adalah bagian dari skenario Ilahi untuk menguji kesabaran manusia. Di sinilah relevansi moderasi beragama menjadi penting untuk meredam dampak negatif perseteruan.
Dampak Perseteruan
1. Dampak Individu
a. Gangguan Psikologis
Perseteruan dapat menimbulkan rasa dendam, kebencian, dan stress yang berlarut-larut. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
“إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ”
“Hati-hatilah kalian dari sifat hasad, karena hasad itu memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.”
(HR. Abu Dawud)
b. Hilangnya Fokus Ibadah
Ketika hati seseorang dipenuhi perseteruan, hubungan dengan Allah menjadi terganggu. Ini karena hati yang dipenuhi kebencian tidak mampu mencapai kekhusyukan dalam ibadah.
2. Dampak Sosial
a. Perpecahan Umat
Perseteruan yang tidak dikelola dengan baik dapat menciptakan jurang perpecahan di tengah umat. Allah SWT. memperingatkan:
“وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ”
“Dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”
(QS. Al-Anfal: 46)
b. Kekacauan dan Kerusakan
Perseteruan yang tidak terkendali dapat menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, dan kehancuran masyarakat. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW. bersabda:
“لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ”
“Janganlah kalian kembali menjadi kafir setelah kepergianku, yaitu saling memenggal leher satu sama lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Mengurai Perseteruan dengan Moderasi Beragama
Di tengah bara api perseteruan, Islam menawarkan air penyejuk: moderasi beragama. Prinsip tawashut (sikap tengah), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan ta’awun (kerja sama) menjadi pilar untuk membangun harmoni di tengah perbedaan. Rasulullah SAW. menunjukkan bagaimana prinsip ini diterapkan dalam kehidupan nyata.
Ketika penduduk Thaif menolak dakwahnya dengan caci maki dan lemparan batu, beliau tidak membalas dengan kebencian. Sebaliknya, beliau berdoa:
“اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ”
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
(HR. Al-Bukhari)
Inilah esensi moderasi: membalas kebencian dengan kasih sayang, mengganti amarah dengan maaf, dan mengubah musuh menjadi sahabat. Tidakkah ini lebih indah daripada terus-menerus membakar api permusuhan?
Tasamuh: Toleransi yang Menyatukan
Islam mengajarkan bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Ia bukan alasan untuk saling menjauh, melainkan peluang untuk saling mengenal. Allah SWT. berfirman:
“إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا”
“Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Toleransi tidak berarti mengorbankan prinsip, tetapi menghormati hak orang lain untuk berbeda. Ia adalah kekuatan yang menyatukan, bukan melemahkan.
Tawazun: Keseimbangan dalam Menghadapi Konflik
Keseimbangan adalah inti dari ajaran Islam. Rasulullah SAW. bersabda:
“خَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا”
“Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.”
(HR. Al-Baihaqi)
Dalam menghadapi konflik, tawazun mendorong manusia untuk tidak berpihak pada ekstremitas. Ia mengajarkan sikap adil, meskipun terhadap musuh. Allah SWT. berfirman:
“وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى”
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Ma’idah: 8)
Tawashut dan Ta’awun: Jalan Tengah dan Kerja Sama
Jalan tengah adalah jalan terbaik. Dalam moderasi beragama, tawashut menjadi pelita yang memandu umat untuk menghindari fanatisme dan liberalisme. Sementara itu, ta’awun mengajarkan pentingnya saling menolong, bahkan dengan mereka yang berbeda keyakinan, selama itu dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah SAW. berfirman:
“وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ”
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)
Menutup Luka, Merajut Harmoni
Perseteruan hanyalah bayang-bayang yang akan sirna di bawah terang kasih sayang. Dengan moderasi beragama, kita mampu mengubah luka menjadi pelajaran, perpecahan menjadi persatuan, dan kebencian menjadi cinta. Bukankah dunia ini terlalu indah untuk dinodai oleh kebencian?
Mari kita renungkan: apakah kita ingin dikenang sebagai pembawa damai, atau sebagai penyebab luka? Apakah kita ingin menjadi pelita yang menerangi, atau api yang membakar?
Semoga Allah SWT. membimbing hati kita untuk selalu memilih cinta di atas kebencian, harmoni di atas konflik, dan kedamaian di atas perseteruan.
Merangkai Damai di Tengah Luka
Ketika tinta terakhir dari lembaran kisah ini hampir mengering, marilah kita merenung sejenak di tepi samudra perenungan. Perseteruan, dalam segala bentuk dan warna, telah menyisakan jejak yang begitu perih di sejarah kemanusiaan. Ia bukan hanya melukai hati yang berseteru, tetapi juga memadamkan cahaya harapan bagi mereka yang tak bersalah.
Perseteruan adalah perang tanpa pemenang, di mana kehormatan sering terkubur oleh kebencian, dan cinta digantikan oleh rasa benci yang mengakar.
Tidakkah hati bertanya, apa yang sebenarnya kita cari dari pertengkaran yang melelahkan ini? Tidakkah jiwa merasakan betapa setiap kata yang menyakiti, setiap tindakan yang melukai, pada akhirnya hanya meninggalkan kehampaan? Allah SWT. telah menasihati kita:
“فَإِذَا ٱلَّذِینَ بَیْنَكَ وَبَیْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِیمٌ”
“Maka jika engkau berlaku baik, orang yang sebelumnya bermusuhan denganmu akan menjadi seperti teman yang setia.”
(QS. Fussilat: 34)
Betapa indahnya nasihat Islam, namun sering kali kita lupa bahwa perseteruan adalah racun bagi jiwa, pembunuh bagi ukhuwah, dan duri dalam perjalanan hidup. Perseteruan tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga menyulut kebencian yang meluas ke dalam tatanan masyarakat, menghancurkan persaudaraan, bahkan memisahkan bangsa-bangsa.
Apa yang Hilang dari Jiwa yang Berseteru?
Kita sering lupa bahwa di tengah-tengah perseteruan, ada kehancuran yang tidak terlihat. Hati kehilangan rasa damai, pikiran menjadi keruh, dan jiwa terperangkap dalam kebencian yang tak berujung.
Tidakkah lebih baik jika setiap energi yang kita gunakan untuk berseteru dialihkan menjadi kekuatan untuk membangun? Bukankah lebih mulia bagi kita untuk menjadi perajut harmoni di tengah perbedaan, daripada menjadi penyulut api di lahan yang gersang?
Rasulullah SAW. dalam kemuliaan akhlaknya, telah memberikan teladan bagaimana kita seharusnya menghadapi perbedaan. Ketika beliau menghadapi pengkhianatan, celaan, bahkan ancaman pembunuhan, tidak pernah sekalipun beliau menjadikan kebencian sebagai senjatanya. Beliau memilih cinta, maaf, dan kelembutan sebagai jawaban.
Tidakkah hati kita tergerak untuk mengikuti jejak langkahnya?
“إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ”
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Merajut Moderasi di Tengah Perbedaan
Dalam semesta kehidupan ini, perbedaan adalah keindahan yang dirancang oleh Allah SWT. untuk mendewasakan manusia. Moderasi beragama, dengan prinsip tawashut, tasamuh, tawazun, dan ta’awun, menjadi jembatan emas yang dapat menyatukan hati-hati yang terpecah. Ia adalah perisai yang melindungi dari ekstremitas, sekaligus lentera yang menerangi jalan menuju kedamaian.
Bukankah lebih indah jika kita memilih untuk memahami daripada menghukum, untuk memaafkan daripada membenci? Bukankah dunia ini terlalu indah untuk kita kotori dengan perseteruan yang tiada akhir?
Sebab setiap perbedaan adalah peluang untuk saling melengkapi, bukan alasan untuk saling menjatuhkan.
Menutup Luka, Merajut Asa
Perseteruan adalah luka, tetapi setiap luka memiliki obatnya. Obat itu ada dalam kelembutan hati, dalam keikhlasan untuk memaafkan, dan dalam keberanian untuk mencintai meskipun telah disakiti. Inilah warisan Rasulullah SAW. yang harus kita pelihara: cinta yang memeluk dunia, maaf yang menyembuhkan luka, dan damai yang mengangkat peradaban.
Marilah kita berhenti sejenak, bertanya pada hati yang terdalam: apa yang akan kita wariskan kepada anak-cucu kita? Apakah mereka akan mengingat kita sebagai penyulut bara, atau sebagai pembawa pelita? Bukankah lebih baik jika mereka mengenang kita sebagai pembangun perdamaian, sebagai insan yang memilih cinta di atas kebencian?
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam perseteruan. Sebab pada akhirnya, ketika kita kembali kepada-Nya, bukan seberapa banyak kita menang yang akan dihitung, tetapi seberapa besar cinta yang kita tinggalkan.
Optimis Dalam menyelesaikan Perseteruan
Hal yang harus diyakini dan terus diperjuangkan bahwa setiap luka menyimpan peluang untuk sembuh, setiap konflik menyisakan ruang untuk kedamaian. Sebagaimana malam yang gelap diakhiri oleh fajar yang menyingsing, demikian pula perseteruan dapat diakhiri dengan rekonsiliasi dan kasih sayang.
Kuncinya terletak pada keberanian untuk memaafkan, keikhlasan untuk melupakan, dan komitmen untuk memperbaiki.
Allah SWT. telah menyediakan panduan yang jelas dalam menyikapi perbedaan dan konflik. Firman-Nya dalam Al-Qur’an menjadi pelita bagi umat manusia untuk meniti jalan kebenaran:
“وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ” “Tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seakan-akan telah menjadi teman yang setia.”
(QS. Fussilat: 34)
Ayat ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah ketika kita berhasil mengalahkan musuh, melainkan ketika kita mampu mengubah musuh menjadi sahabat. Rasulullah SAW., sebagai teladan sempurna, tidak hanya mengajarkan hal ini, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan beliau.
Ketika Rasulullah SAW. membuka kota Makkah, beliau menunjukkan sikap memaafkan yang luar biasa. Tidak ada dendam, tidak ada balas dendam. Kata-kata beliau yang abadi menjadi pengingat untuk umat manusia:
“Pergilah, kalian semua bebas.”
(HR. Al-Baihaqi)
Maka, langkah kita untuk merajut harmoni dimulai dari niat yang tulus untuk membangun. Sebagaimana kita diberi kesempatan untuk hidup berdampingan, sudah sepatutnya kita mengisi kehidupan ini dengan nilai-nilai luhur yang mendamaikan.
Perseteruan hanyalah bagian kecil dari perjalanan panjang kehidupan, sementara kedamaian adalah tujuan utama yang harus kita kejar.
Semoga kita semua diberikan kekuatan oleh Allah SWT. untuk menjadi agen perdamaian, bukan pemicu perselisihan. Semoga kita dimampukan untuk menyulam kembali kain persaudaraan yang robek, untuk membangun jembatan di atas jurang perbedaan, dan untuk menghadirkan cahaya di tengah kegelapan.
Maka, mari kita akhiri tulisan ini dengan doa penuh harap kepada Allah Rabbul Jalil agar perseteruan dapat kita hindari dengan spirit cinta yang telah dianugrahkan Allah SWT. Kepada kita:
“اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُحِبِّينَ وَاجْعَلْنَا مِفْتَاحًا لِلسَّلَامِ وَمَغْلَقًا لِلْفِتَنِ”
“Ya Allah, jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mencintai, jadikanlah kami kunci bagi perdamaian dan penutup bagi fitnah.”
Semoga kita mampu menjadi insan yang merajut asa di tengah perbedaan, membangun jembatan di atas jurang perseteruan, dan menanam benih cinta di ladang kehidupan yang kering. Dengan demikian, semesta akan tersenyum menyaksikan manusia yang kembali kepada fitrahnya: saling mencintai dan saling melengkapi. #Wallahu A’lam Bishawab🙏