Pilgub DKI dan Evaluasi Manajemen Kaderisasi Partai
Oleh: Hendra Sunandar[1]
Pilgub DKI sudah menghasilkan 3 pasangan bakal calon yang akan berkompetisi, yakni Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat yang diusung PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura, Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni yang diusung Demokrat, PPP, PAN, PKB dan Anies Baswedan – Sandiaga Uno yang diusung Gerindra dan PKS.
Jika kita mengacu pada Pasal 11 UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, setidaknya ada penjelasan mengenai fungsi partai politik, salah satunya fungsi rekruitmen politik yang tertuang dalam ayat (1) huruf (e) yang berbunyi “rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.”
Meskipun secara redaksional sudah tertuang fungsi rekruitmen dalam konteks mencari orang-orang guna mengisi jabatan politik, namun tidak diatur secara rinci tentang bagaimana proses rekruitmen tersebut dapat dilaksanakan.
Sehingga ini menjadi celah bagi siapapun untuk dapat maju dalam Pilkada, tidak peduli darimana calon itu berasal. Partai politik pun nyatanya juga tidak memiliki inisiasif untuk lebih mengutamakan seseorang hasil produksi partai politik itu sendiri dalam mengusung calon kepala daerah.
Sebagaimana diketahui, ketiga pasangan calon tersebut adalah orang-orang yang bukan diproduksi dari hasil kaderisasi partai yang mengusungnya. Dengan kata lain, ketiganya adalah orang luar (outsiders) dari partai pengusung.
Kaderisasi Sebagai Perjuangan Visi Misi
Proses rekruitmen politik pada tahap awal pencalonan kepala daerah yang instan tentu tidak membuat seseorang tersebut memiliki visi misi yang sesuai dengan agenda partai dalam menjalankan amanat untuk penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf (c) UU Partai Politik.
Sehingga hubungan calon dengan partai bisa saja tidak memiliki visi-misi yang sama. Bahkan secara mendalam, bisa saja nanti calon yang menang dalam Pilkada meninggalkan partai yang mengusungnya, seperti kasus Ahok yang meninggalkan Gerindra usai memenangkan Pilgub DKI tahun 2012.
Hal ini juga memicu bagi siapapun bisa dengan mudah maju dalam Pilkada, asalkan seseorang tersebut cukup memiliki modal, baik itu modal popularitas, finansial dan modal nepotisme untuk mempengaruhi pimpinan partai politik agar dicalonkan.
Dalam kasus Pilgub DKI mendatang, meskipun ayahnya adalah Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono bukanlah kader Partai Demokrat serta bukan pula hasil didikan yang lahir dari Partai Demokrat, karena Agus lebih dibesarkan karena karir cemerlangnya di TNI AD. Pencalonan yang instan ini membuat Agus harus ’banting stir’ melepaskan jiwa perwira menjadi jiwa politisi. Tentu ini bukan proses adaptasi yang mudah dan cepat.
Begitu juga dengan Ahok, hal ini terasa ketika Ahok bisa dengan mudahnya meninggalkan Gerindra, partai pengusungnya saat Pilgub DKI tahun 2012. Sebelumnya, Ahok pun juga pernah menjadi kader Golkar.
Kini, Ahok yang diusung oleh PDIP, Hanura, Nasdem dan Golkar bukan tidak mungkin usai Pilgub DKI mendatang, Ahok akan melakukan perubahan preferensi politik seperti halnya sebelumnya. Ini sebagai dampak dari calon kepala daerah yang diusung bukan berasal didikan partai yang bersangkutan, sehingga membuat kesetiaan calon terhadap partai sangat minim.
Begitu juga dengan Anies Baswedan. Dalam perjalanannya, mantan rektor Universitas Paramadina ini adalah seseorang yang cukup lincah dalam menentukan preferensi partai politik. Tercatat pada tahun 2013, Anies turut serta dalam konvensi Capres yang akan diusung Partai Demokrat, meskipun pada akhirnya saat Pilpres 2014 menjadi Timses Jokowi-JK dan kini tanpa proses kaderisasi, Anies dengan mudah menjadi Cagub DKI yang diusung Gerindra dan PKS, partai yang pada Pilpres 2014 lalu menjadi rivalnya ketika Anies memperjuangkan Jokowi menjadi presiden.
Perlu Penguatan Partai Politik
Dengan begitu cair serta tidak ada proses ideologisasi dalam Pilgub DKI, tak ada satupun calon yang dihasilkan dari proses kaderisasi partai politik. Tentu ini berdampak pada kebijakan yang nanti akan dikeluarkan lebih dipengaruhi oleh aspek personalitas, bukan pada apa yang dijadikan visi-misi partai.
Sehingga fungsi partai politik dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara berdasarkan aspirasi politik masyarakat sebagaimana amanat Pasal 11 ayat (1) huruf (c) UU Partai Politik tidak berjalan. Karena fungsi itu lebih dipengaruhi oleh individualitas pemimpin yang menjabat, bukan partai politik.
Hal ini membuat peran partai politik hanya sebagai kendaraan politik yang kapan saja bisa ditinggalkan dan membuat partai politik menjadi lemah. Ini sudah seharusnya dibenahi, karena pada prinsipnya partai politik adalah pilar demokrasi, sehingga keberadaannya harus kuat.
Tak ada regulasi yang spesifik dalam UU Partai Politik mengenai rekruitmen politik, termasuk hal yang mengatur kaderisasi secara lebih mendalam, membuat parpol hanya mencari calon kepala daerah yang sudah memiliki aspek popularitas, modal finansial dan nepotisme sebagai pertimbangan yang utama, bukan hasil didikan partai serta memiliki visi misi yang selaras antara calon dengan partai.
Untuk memperkuat peran partai politik sebagai pilar demokrasi, maka perlu dilakukan revisi UU No 2 Tahun 2008 beserta aturan turunannya agar memuat aturan soal proses kaderisasi dan tahapan yang harus ditempuh seseorang untuk bisa dicalonkan partai politik sebagai calon pejabat publik.
Hal itu demi keberlangsungan partai politik yang kuat sebagai pilar demokrasi dan tidak lagi dijadikan kendaraan yang bisa saja ditinggalkan oleh pengendaranya. Karena jika tidak diatur dalam UU, sulit mengharapkan inisiasi partai politik untuk lebih mengutamakan jenjang kaderisasi sebagai pertimbangan utama dalam mengusung calon ketimbang secara instan untuk memilih calon yang sudah memiliki popularitas, modal finansial dan hubungan kekeluargaan yang kuat.
Pilgub DKI ini adalah contoh dari nihilnya jenjang kaderisasi partai politik dalam menjalankan fungsi rekruitmen politik. Meminta agar DPR melakukan revisi terhadap UU No 2 tahun 2008 sudah tidak mungkin, karena tahapan Pilgub DKI sudah dilakukan.
Namun, perlu direnungan juga untuk keberlangsungan penguatan partai politik di masa yang akan datang, agar partai kian kuat dalam menjalankan tanggung jawabnya dalam memproduksi calon pejabat publik yang diinginkan rakyat dan masyarakat dengan sendirinya akan jauh dari gejala deparpolisasi.
[1] Penulis alumnus Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidyatullah Jakarta dan Peneliti Presidential Studies.