PKS Nilai Pelaksanaan APBN 2018 Kurang Memuaskan
JAKARTA – Kinerja pemerintah dalam pelaksanaan APBN 2018 dinilai oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (P-PKS) DPR RI masih kurang memuaskan. Hal ini akhirnya berdampak pada tidak optimalnya pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Demikian pandangan umum Fraksi PKS yang disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Junaidi Auly dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (9/7).
Junaidi mengatakan, pemerintah saat ini belum mampu memenuhi target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan dalam APBN sebesar 5,4 persen dan hanya terealisasi 5,17 persen. Kegagalan tersebut menyebabkan upaya menekan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan tidak secepat yang diharapkan.
“Apalagi kegagalan mencapai pertumbuhan sesuai target yang ditetapkan ini sudah terjadi sejak 2015 dan ternyata terus berulang,” terangnya.
Junaidi mengungkapkan, di tahun 2018 pendapatan per kapita Indonesia hanya 3.927 dollar AS per orang yang hanya naik 1,31 persen dari tahun sebelumnya. Pencapaian ini lebih rendah dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2017, pendapatan per kapita naik 7,57 persen menjadi 3.876 dollar AS per orang. Disamping itu, kontribusi belanja pemerintah dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) nasional belumlah signifikan.
Data BPS tahun 2018 mencatat, belanja pemerintah hanya berkontribusi 8,98 persen, turun dari 9,09 persen pada tahun 2017 dan 9,53 persen pada tahun 2016. Angka tersebut sangat rendah dibandingkan potensi yang tersedia. “Dengan PDB (harga berlaku) sebesar Rp14.837 triliun pada tahun 2018 dan APBN mencapai Rp2.220 triliun, setidaknya kontribusi APBN terhadap PDB seharusnya mencapai 14,95 persen,” tegas Anggota DPR asal Lampung ini.
Sementara itu, kata Junaidi, terkait dengan inflasi, Fraksi PKS menilai tingkat inflasi nasional masih relatif tinggi dibanding dengan negara-negara lain. Inflasi Indonesia tahun 2018 mencapai 3,2 persen, sedangakan negara-negara tetangga jauh lebih rendah: Thailand 0,8 persen; Malaysia 0,3 persen; RRC 2,2 persen; Korea Selatan 1,8 persen; dan India 2,6 persen. Hal itu misalnya terlihat dari tingginya suku bunga kredit, sehingga kegiatan investasi relatif terbatas.
Suku bunga kredit Indonesia tahun 2018 mencapai 10,5 persen juga jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti: Thailand 4,15 persen; Malaysia 4,93 persen; Singapura 5,33 persen; Brunei 5,5 persen; Filipina 6,12 persen; dan Vietnam 7,4 persen. “Hal ini menyebabkan daya saing ekonomi kita menjadi lebih rendah,” ujarnya.
Pemerintah juga dianggap belum berhasil mengelola bahan makanan yang tergambar dari tingginya volatile food mencapai 3,39 pesen pada tahun 2018. Selain itu, kenaikan harga bahan makanan cukup tinggi sepanjang 2018. Harga daging ayam ras naik 10,43 persen; cabai rawit naik 10,8 persen; beras naik 4,5 persen; telur ayam ras naik 4,24 persen; dan ikan kembung naik 4,85 persen.
“Fraksi PKS mendesak perlunya pemerintah meningkatkan perbaikan tata kelola bahan pokok strategis, mulai dari produksi, struktur pasar, hingga infrastrukturnya. Pemerintah juga harus lebih serius dalam mencapai ketahanan pangan nasional,” tegas Junaidi.
Mengenai nilai tukar rupiah, menurutnya Fraksi PKS menilai Pemerintah dan Bank Indonesia belum mampu mencapai target nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS sepanjang 2018. Pada APBN-2018, nilai tukar Rupiah ditetapkan mencapai Rp13.400, namun realisasinya mencapai Rp14.481 per dollar AS. Kegagalan tersebut menyebabkan kerugian besar yang harus ditanggung oleh dunia usaha, sektor keuangan, termasuk pemerintah. Akibatnya dunia usaha, terutama sektor industri memerlukan likuiditas (dollar) yang semakin besar jika depresiasi Rupiah terus berlanjut.
“Kami dari Fraksi PKS mendesak kepada pemerintah untuk bekerja lebih serius dalam membangun perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memastikan agar target-target yang telah menjadi komitmen bersama dapat benar-benar tercapai” tegas kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan IPDN ini. (JK)