Polemik Parpol Masuk KPU, Benarkah untuk Check and Balances?
Oleh: Ubedilah Badrun, Analis politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Motif normatif yang sering dikemukakan partai politik dalam soal keinginannya masuk dalam komisioner KPU adalah ingin menghadirkan KPU yang tidak mudah diintervensi oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa
_______________________________________________
Wacana unsur partai politik masuk menjadi komisioner KPU dalam dua pekan ini, ramai diperbincangkan. Namun, sampai tulisan ini dibuat, masih menemui jalan buntu atau fraksi-fraksi di DPR belum menghasilkan kesepakatan. Pertanyaanya adalah mengapa partai politik terkesan memiliki hasrat tinggi masuk menjadi komisioner KPU? Apa motif partai politik? Dan bagaimana solusi terbaiknya?
Motif partai politik
Motif normatif yang sering dikemukakan partai politik dalam soal keinginannya masuk dalam komisioner KPU adalah ingin menghadirkan KPU yang tidak mudah diintervensi oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa. Pemilu yang bebas dari tekanan manapun dan pemilu yang ujur. Sebab, pemilu yang bebas dan jujur adalah indikator penting dari sebuah negara demokrasi (Robert Dahl, On Democracy, 2000).
Tentu saja motif partai politik itu muncul karena asumsi intervensi kekuasaan yang mungkin saja terjadi baik di tingkat daerah maupun pusat. Argumentasi tersebut ada benarnya karena mekanisme bekerjanya KPU sangat erat kaitanya dengan pekerjaan pemerintah terutama kementrian dalam negeri, misalnya terkait data pemilih.
Selain itu, seleksi anggota KPU yang dilakukan sebuah tim memungkinkan intervensi itu terjadi. Tetapi, keinginan partai masuk KPU kurang pas jika dibangun dari dugaan intervensi.
Argumentasi yang patut dibangun KPU seharusnya adalah keinginan untuk terjadinya saling kontrol diantara komisioner. Ada semacam check and balances di antara para komisioner, sehingga mampu melahirkan keputusan yang tepat dan meminimalisasi conflict of interest di antara para komisioner.
Ketika check and balances terjadi dan conflict of intetest diminimalisasi, maka KPU akan bekerja secara profesional dan menjadi bagian penting untuk menghadirkan pemilu demokratis dan berkualitas. Fakta tentang Data Pemilih yang masih dihinggapi berbagai masalah juga menjadi ukuran tentang seberapa serius KPU bekerja.
Problem buruknya performa partai
Problemnya adalah keinginan partai politik untuk memiliki wakil di KPU tersebut muncul di tengah performa partai politik yang buruk. Dalam konteks ini partai politik patut dikoreksi dan bekerja keras untuk memperbaiki performanya secara bersama-sama.
Sebab kritik publik terhadap parpol yang paling menonjol adalah buruknya performa parpol dalam 10 tahun terakhir hingga saat ini, meski mungkin ada beberapa partai yang kinerjanya membaik.
Buruknya performa partai politik saat ini dapat dicermati dari indikator kinerja partai yang dilakukan anggota partai yang menjadi anggota DPR. Dari segi fungsi legislasi DPR masih jauh dari target program legislasi nasional. Rata-rata produk legislasi secara kuantitatif rendah, rata-rata hanya mencapai 8 persen saja.
Dari fungsi pengawasan juga kinerjanya buruk. Selama dua tahun ini, DPR sering batal melaksanakan fungsi pengawasan. Misalnya, dalam menjalankan hak angket. Bahkan, anggota DPR saat ini terlalu banyak tersangkut korupsi, misalnya, dalam kasus korupso e-KTP yang diduga merugikan negara hingga Rp 2, 3 triliun, dan lain-lain.
Selain itu partai politik juga gagal melakukan regenerasi. Ini terlihat dari masih kuatnya dinasti politik dan oligarki politik di tubuh partai. Sejumlah problem memburuknya performa partai tersebut seharusnya memang tidak membuat partai politik kehilangan energinya untuk menjalankan fungsinya di DPR.
Memadukan pengalaman: antara pengalaman Indonesia, Jerman, dan Meksiko
Pansus UU Pemilu DPR RI menjadikan Jerman dan Meksiko sebagai rujukan studinya untuk meyakinkan DPR dan publik tentang urgensi perwakilan partai menjadi komisioner KPU. Di Jerman ada 11 anggota KPU yang terdiri unsur pemerintah, dua hakim, dan delapan dari parpol. Di Jerman maupun Meksiko memang memasukan unsur partai politik dalam KPU-nya.
Kondisi tersebut mirip dengan KPU era awal reformasi di Indonesia. Dimana unsur partai politik duduk menjadi anggota KPU untuk penyelenggaraan pemilu 1999 yang hasilnya dimenangkan PDI Perjuangan dan memunculkan partai pendatang baru Partai Keadilan (PK) yang mendapat kursi paling bontot waktu itu.
Sebenarnya, jauh sebelum era reformasi, ketika Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu pertama kali (1955) yang dinilai banyak kalangan ilmuwan paling demokratis, panitia pemilihannya juga melibtkan unsur partai politik yang hasilnya pada waktu itu dimenangkan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan partai Masyumi.
Di Meksiko, anggota KPU-nya terdiri dri unsur hakim, kejaksaan, pemerintah dan semua partai politik menjadi pengurus KPU. Namun, unsur partai politik tidak memilki hak suara. Mereka hanya memiliki hak bicara, mendapat kewenagan untuk melihat seluruh tahapan Pemilu.
Jika di Jerman unsur partai politik memiliki hak bicara dan hak suara sementara di Meksiko unsur partai politik di KPU hanya memiliki hak bicara tetapi tidak memiliki hak suara. Artinya dalam mengambil keputusan unsur partai tidak punya hak suara.
Solusi untuk KPU saat ini saya kira pansus undang-undang pemilu di DPR patut belajar dari pengalaman Indonesia tahun 1955 (unsur partai dominan), 1971-1997 (hanya unsur pemerintah), 1999 (unsur partai dominan), 2004-2014 (unsur mantan komisioner KPU daerah), dan pengalaman Jerman termasuk Meksiko serta negara-negara yang secara politik sudah mapan.
Konsepnya memadukan pengalaman terbaik tersebut. Konsep padu tersebut bisa dengan model kuota dari unsur-unsur yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara pemilu. Misalnya 30 persen berasal dari unsur partai politik, 30 persen unsur pemerintah, dan 40 persen dari unsur masyarakat (mantan KPU daerah, LSM, Akademisi, maupun kaum profesional lainya).
Dengan sistem kuota tersebut, dengan latar belakang yang berbeda, dan semuanya kaya akan pengalaman penyelenggaraan pemilu, maka check and balances di dalam internal KPU terjadi. Apalagi, misalnya, unsur partai politik hanya diberikan hak bicara dan mendapat kewenagan untuk melihat seluruh tahapan Pemilu saja.
Maka, dengan logika tersebut pandangan yang mengatakan aneh jika unsur parpol masuk KPU karena seperti ‘pemain merangkap wasit’ menjadi tidak berlaku dalam model tersebut. Sebab, partai bukan unsur dominan di komisioner. Tentu saja agar menghasilkan komisioner yang berkualitas di masing-masing kuota tersebut tetap dilakukan proses seleksi yang ketat. Spirit seleksi ketat adalah hasrat kuat untuk menghadirkan pemilu yang betkualitas dan demokratis.[]
Dikutip dari republika