Polri Merusak Polri?
Oleh: Dedi Noah, Pemerhati Kelucuan Indonesia
Judul di atas sungguh lucu dan aneh, apa mungkin itu bisa terjadi ? Bukankah sudah menjadi kewajiban tiap individu dari personil Polri untuk menjaga nama baik institusi Polri ?
Flash back, hasil survey Indobarometer (Oktober 2015), CSIS (Oktober 2015) dan SMRC (Desember 2015), semuanya menempatkan Polri di posisi paling bawah, berdekatan dengan DPR/Parpol dalam tingkat kepercayaan.
Padahal pekerjaan utama paling berat yang diemban Polri adalah menjadikan Polri “dipercaya rakyat”. Sangat berat, karena image Polri sejak lama kadung akrab dengan berbagai permasalahan negatif/minor yang menempel akut di kepala masyarakat.
Polri di mata masyarakat sejujurnya masih belum dipercaya rakyat. Sampai sekarang bila ada anggota masyarakat berurusan dengan polisi, bila tidak kepepet enggan ke kantor polisi. Misal, ada yang kehilangan sesuatu, akan malas melapor ke Polisi. Kenapa ? Karena “joke” bila lapor hilang kambing, maka siap hilang sapi, nampaknya masih kuat di benak masyarakat dan mereka belum yakin sirna dari kantor polisi.
Kondisi darurat demikian, seharusnya sejak lama dijawab serius petinggi Polri, bukan sekadarnya, dimana dari dulu hingga sekarang begitu-begitu saja, tidak ada perubahan fundamental dari perilaku polisi. Fakta, banyak masalah besar terkait Polri yang mempertaruhkan “kepercayaan” tapi ujungnya tidak jelas, meragukan dan mengambang, sehingga menggerus kepercayaan rakyat kepada Polri.
Kasus “geger” rekening gendut, cicak vs buaya, kriminalisasi KPK, sampai kasus tewasnya Siyono, penembakan di Lubuk Linggau, semuanya meninggalkan tanda tanya besar di masyarakat.
Selama tidak ada kejelasan yang tuntas, maka selama itu pula ketidakpercayaan masyarakat kepada Polri terus bergelayut.
Momentum perbaikan mendasar sebenarnya banyak, tapi sayang tak pernah dimanfaatkan, misalnya saat pergantian pucuk pimpinan Polri atau terungkapnya tindak kriminal yang menonjol oleh petinggi Polri.
Selama ini, momentum itu cuma lips service dan hangat-hangat tai ayam saja. Gencar diawal selanjutnya tidak jelas dan hilang ditelan waktu. Masyarakat senantiasa menunggu adanya gebrakan yang fenomenal dari institusi Polri, tapi kenyataannya modus pembenaran dan pembelaan kerap ditampilkan Polri tanpa menyentuh akar masalah. Aroma rekayasa, tak transparan kemudian ulur waktu menjadi kewajaran dan jadi tradisi terpelihara.
Kini gerak masyarakat jauh lebih cepat lagi, karena pengaruh globalisasi dan demokratisasi yang sarat teknologi. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas kepada Polri menjadi keniscayaan.
Kemajuan IT (Information & Technology) yang aksesnya mudah didapat, distribusi cepat menyebar dan menembus ke segala lapisan masyarakat, menempatkan obyektifitas dan kejujuran menjadi nilai di masyarakat. Akibatnya, bila ada informasi dari Polri yang tidak sesuai dengan realita di masyarakat, maka “untrust” semakin melekat tambah dalam di tubuh Polri.
Sejak pasca reformasi, belum ada pimpinan Polri yang konkrit bersikap peka dan peduli terhadap harapan masyarakat, dimana secara signifikan berani menyentuh masalah mendasar di tubuh “Polri sendiri”.
Pada awal menjabat setiap petinggi Polri, biasanya berjanji untuk memberantas hal-hal negatif, tapi seiring waktu berjalan, semuanya sama, back to basic seperti semula, tidak ada perubahan mendasar. Memang budaya tutup menutupi dan mendiamkan permasalahan hingga rakyat lelah atau lupa, masih dominan, sehingga wajar ketidakpercayaan masih melekat di hati masyarakat.
Di era kepemimpinan Jenderal Tito, ketidakpercayaan rakyat kepada Polri “semakin parah” dan masuk lebih dalam pada ingatan kolektif masyarakat. Ini terjadi karena kasat mata petinggi Polri secara sengaja “show” bermanuver membela dan melindungi “Ahok” yang jelas-jelas melanggar hukum (menista agama), terbukti menjadi tersangka selanjutnya terdakwa.
Ironisnya, Polri tetap bertahan pada posisi di belakang Ahok, bahkan tidak segan-segan mengejar dan menangkap siapapun yang memperkarakan Ahok dengan berbagai alasan. Kriminalisasi kepada pihak yang menyuarakan kebenaran untuk keadilan terus diperlihatkan ke masyarakat, seperti kasus Buni Yani, Habib Rizieq, Munarman, Bahtiar Nasir, Alkhattad, sementara dari pihak kelompok Ahok tidak satu pun diperlakukan sama di depan hukum, bahkan cenderung dilindungi.
“Equalityy Before the Law” terus gencar dikumandangkan tapi prakteknya tidak berlaku bagi kelompok Ahok. Mengistimewakan Ahok dan kelompoknya terus diperlihatkan Polri.
Sehingga ketidakadilan dipertontonkan pada masyarakat. Nama baik, institusi Polri yang seharusnya dilindungi dan dijaga kehormatannya, justru diabaikan dengan ikut membela dan melindungi Ahok. Bau menyengat tidak netral dan melakukan politik praktis yang seharusnya diharamkan Polri sebagai alat negara masih jelas terlihat.
Bahkan tak bisa disangkal turut “mengakali” peserta aksi damai yang akan datang ke Jakarta yang menuntut keadilan seperti tergambar pada aksi damai 411 dan aksi super damai 212.
Fakta lain, intimidasi Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) M. Iriawan saat aksi 411 dan 212, aksi ngawur Kapolda Jabar Irjen (Pol) Anton Charliyan yang mengadu domba FPI vs GMBI, lalu penangkapan kelompok FPI dan membiarkan kelompok GMBI serta dagelan Polri atas kasus yang menimpa Ustadz Tengku Zulkarnain Wasekjen MUI yang ditolak masuk Sintang dimana massa yang menolak membawa mandau, golok dan tombak bisa berada sampai kaki pesawat, namun anggota Polri diam saja.
Semua jelas memihak, sehingga menjatuhkan kredibilitas institusi Polri di mata rakyat. Terbayangkah bila umat Islam yang membawa senjata tajam ?
Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, tapi rakyat mencatat pembiaran dan arogansi Polri sebagai noda hitam dalam pikiran masyarakat yang cenderung terbawa sampai kapanpun. Bila rakyat tersenyum di hadapan polisi bukan berarti simpatik, tapi rakyat berprinsip “ingin cepat selesai” dan “tidak mau berurusan dengan polisi”.
Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat sudah tidak nampak lagi, karena tugas mengutamakan kepentingan bangsa dan negara sesuai Tribrata sudah bergeser. Ini tak lain disebabkan orientasi tugas Polri bukan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan menegakkan kebenaran dan keadilan, tapi mengabdi untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga tidak peduli nama baik institusinya hancur, yang penting “titipan atasan” dapat terlaksana.
Akibatnya, tindakan melanggar hukum menjadi kultur yang mentradisi dari petinggi satu ke petinggi lainnya. Tak peduli rakyat resah, takut, menderita, tak ada keadilan, melahirkan kebencian bahkan berujung tidak percaya institusinya, yang penting keinginan atasannya sudah direalisasikan. Ironis, penerapan loyal tapi melanggar hukum, ternyata lebih kuat dibanding loyal sambil menegakkan hukum.
Sungguh kasihan nasib institusi dan anggota Polri “yang baik”, menjadi dicap buruk. Petinggi Polri hanya berpikir menjabat dan menjabat lagi terus pensiun kemudian selamat tinggal institusi. Soal nama baik dan rehabilitasi Polri diserahkan kepada penggantinya dan ini berjalan terus menerus hingga kini.
Bukan rahasia lagi, kebiasaan pejabat baru menutupi kesalahan pejabat lama sudah diketahui anggota menjadi kultur yang mengakibatkan terbangunnya individu polisi yang tenggang rasa, tapi dalam hal keburukan. Tenggang rasa yang terbangun adalah bagaimana tidak menyinggung atasan, meski itu melanggar hukum.
Di era modern, belum ada Kapolri yang dapat dijadikan contoh/teladan. Tradisi turun temurun mewarisi beban ketidakpercayaan seolah lumrah, sehingga tidak aneh Polri dari tahun ke tahun belum pernah melahirkan pelopor perubahan yang bukan slogan tapi kongkrit menjadikan Polri “Tidak Dipercaya Menjadi Dipercaya”.
Momentum setiap pergantian Kapolri atau petinggi Polri lainnya sampai tingkat bawah seharusnya bukan cuma seremonial, begitu-begitu saja dan tidak pernah ada perubahan mental, tapi harus mencerminkan semangat perubahan ingin mewujudkan Polri yang betul-betul dipercaya rakyat. Prinsip “dipercaya rakyat” harus jadi darah daging Polri, sehingga menempatkannya sebagai landasan utama dalam setiap gerak Polri.
Oleh karena itu, segenap petinggi Polri hendaknya bisa menjadi teladan bagi lingkungannya, dimana intinya satu kata dan perbuatan (tidak munafik) yang selama ini jarang dipraktekkan. Motto “ProMoTer” Profesional, Modern dan Terpercaya perlu dipertimbangkan menjadi “Terpercaya” dulu, baru Profesional dan Modern. Karena sehebat apapun tanpa dipercaya rakyat akan sia-sia.
Menunjukkan keseriusan Polri ingin dipercaya rakyat di antaranya adalah bersikap netral, jujur, transparan dan akuntabel kemudian dibuktikan dalam menjalankan proses hukum yang benar dan adil. Hindari perilaku bohong ditutup bohong, karena selain melanggar sumpah Tribrata juga akan berdampak serius terhadap kerusakan mental anggota Polri sebagai Bhayangkara Negara.
Kondisi begini diyakini membuat sedih dan kecewa para “Sesepuh Polri” terhadap generasi penerusnya. Sesepuh Polri pasti menyayangkan petinggi Polri yang sudah melupakan jatidirinya sebagai pengayom dan pelindung rakyat yang netral serta tidak berpolitik praktis.
Sudah saatnya Sesepuh Polri mengingatkan Kapolri dan petinggi Polri lainnya untuk kembali ke jatidirinya sebagai Bhayangkara Negara yang mempedomani Tribrata, dimana mengayomi dan melindungi seluruh rakyat, netral dan tidak menjadi alat kekuasaan adalah harga mati. []