Presiden Putuskan Blok Masela di Darat, INPEX akan Kurangi Karyawan ?
Jakarta, LintasParlemen.com — Desas-desus adanya pengurangan karyawan pada perusahaan INPEX ternyata memang benar adanya, hal ini diakui oleh Senior Manajer Communication and Relation INPEX, Usman Slamet.
Perusahaan yang menjadi KKKS pada proyek pengembangan lapangan gas abadi Masela ini beralasan upaya pengurangan karyawan untuk optimalisasi dalam menggarap proyek tersebut.
“Iya benar, INPEX menawarkan program voluntary resignation program kepada teman teman pekerja, dalam usaha untuk optimalisasi organisasi proyek Abadi,” kata Usman seperti dilansir dari Aktual.com, Kamis (21/4/2016).
Namun dia membantah apabila ini dikatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena pemberhentian bukan diambil melalui keputusan INPEX sepihak, namun melainkan atas usulan dari karyawan dan INPEX hanya bersifat menawarkan.
“Program ini sifatnya sukarela dimana perusahaan memberikan kesempatan kepada teman-teman pekerja. Jadi bukan PHK, kenapa ini dengan terpaksa harus dilakukan, karena INPEX harus mempertahankan keberlanjutan proyek, dan economic viability dari proyek Abadi ditengah suasana bisnis hulu migas yg sekarang dan fase proyek yang kembali kepada kajian awal (onshore),” imbuhnya.
Usman juga menambahkan bahwa INPEX dan partnernya Shell akan tetap komitmen untuk early project development start up dan menjalankan instruksi pemerintah untuk memasukkan usulan baru dengan konsep pengembangan proyek dilakukan di darat sesuai keinginan pemerintah.
Sementara itu, Energy Watch Indonesia (EWI) menyangsikan komitmen INPEX untuk menjalankan keputusan pemerintah dalam membangun pengembangan Blok Masela menggunakan skema onshore atau di darat.
Berdasarkan pemantauan EWI, pasca Presiden Jokowi mengeluarkan keputusan onshore, tidak ada tanda-tanda dari INPEX menunjukkan untuk mengembangkan masela secara onshore.
“Kita tidak melihat kemajuan atau langkah kongkrit dari INPEX untuk memulai pengembangan Masela. Ada apa sesungguhnya yang terjadi? Benarkah INPEX tidak bersedia melaksanakan keputusan pemerintah untuk mengembangkan Masela didarat?” Kata Direktur Eksekutif EWI, Ferdinand Hutahaean, Rabu (20/4)
Ferdinand menambahkan, malah saat ini INPEX telah membagi-bagikan formulir untuk program pengurangan karyawan di Indonesia.
“Ini justru berbanding terbalik dengan perkiraan bahwa Inpex akan butuh 12.000 tenaga kerja baru di Masela. Faktanya bukan perekrutan tenaga kerja yang ada namun justru pengurangan tenaga kerja,” pungkasnya.
Padahal Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli memperkirakan proyek pengelolaan gas Blok Masela,Maluku akan menyerap 380.000 tenaga kerja dengan skema kilang darat terintegrasi.
“Tadi dijelaskan, kira-kira berapa orang tenaga kerja yang bisa diciptakan kalau ini bisa menjadi industri terintegrasi. Diperkirakan itu sekitar totalnya 380 ribu orang di berbagai bidang,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (19/4).
Untuk mengantisipasi tingginya serapan tenaga kerja itu, maka pemerintah menyiapkan tenaga kerja terampil untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
“Tentu ada kualifikasinya. Sebagian disiapkan dengan balai latihan Kerja (BLK) yang ada, sebagian disiapkan dengan universitas dan politeknik,” katanya.
Rizal menambahkan, pihaknya akan berkunjung ke Bintulu, Kalimantan, untuk melihat industri petrokimia terintegrasi yang nantinya bisa diterapkan di Masela.
Menurut dia, Presiden Jokowi tidak ingin pola industri terintegrasi yang tertutup seperti kota terpisah.
“Presiden maunya ‘fully integrated’ (terintegrasi sepenuhnya) yang juga bisa dinikmati rakyat,” imbuhnya.
Rizal melanjutkan, setelah melihat industri petrokimia terintegrasi itu, pihaknya akan mengundang semua kementerian dan lembaga terkait untuk merancang proyek pengelolaannya hanya fokus diekspor LNG atau tidak.
Namun, mantan menko perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menilai pengelolaan gas di darat akan lebih menguntungkan serta mengubah paradigma lama pengelolaan sumber daya alam nasional.
“Biasanya itu sedot ekspor, sedot ikan lalu ekspor, sedot gas diekspor LNG. Kita enggak mau lagi model pengelolaan sumber daya alam seperti itu. Kita ingin nilai tambahnya lebih besar. Untuk itu harus bangun tidak hanya industri untuk LNG, tapi sebagaian untuk bangun industri pupuk dan petrokimia,” jelasnya.
Ia kembali mengungkapkan bahwa dengan hanya mengekspor LNG, maka Indonesia hanya akan mendapat keuntungan 2,5 miliar dolar AS per tahun.
“Tapi kalau kita ekspor juga produk petrokimia, satu tahunnya dapat 6,5 miliar dolar AS. Belum lagi dampak berlipat tidak langsungnya seperti rakyat di situ bikin restoran, sewa taksi atau sepeda motor. Itu totalnya barangkali hampir delapan miliar dolar AS,” pungkas Rizal.
[Aktual]