‘Presiden Soekarno Tak Larang Komunis tapi…’
JAKARTA – PENGAMAT politik Arbi Sanit angkat suara terkait pro kontra terbitnya Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Menurut Arbi, ribut-ribut soal Perppu Ormas mengingatkannya pemahaman komunisme yaang sangat berkembang di era Presiden Soekarno.
Arbi menyampaikan hal itu dalam acara diskusi Kaukus Muda Indonesia “Selamatkan NKRI, Bubarkan Ormas Anti Pancasila “ Jakarta, Jumat (14/07/2017) kemarin.
“Sejak proklamasi, bangsa kita sudah menganut dasar negara dan berideologi Pancasila. Dan ideologi itu sudah diterima sebagai dasar mempersatukan orang Indonesia yang amat beranekaragam ini,” terang Arbi.
Arbi mengungkapkan, di era Presiden RI Soekarno paham komunisme tak dilarang berkembang di Indonesia. Yang jadi pertanyaan, kenapa di era Presiden Joko Widodo yang notabene PDIP berideologi Soekarno mengeluarkan Perppu Ormas.
“Bahaya ideologi komunis sangat berbahaya. Namun, Presiden Soekarno nggak melarang (Komunis). Dia malah memanfaatkan dukungan massa aksi (Komunis) karena Soekarno paling suka massa aksi untuk menggerakkan revolusi atau komunis yang paling jago melakukan massa aksi. Dan kemitraan itu dimanfaatkan oleh Soekarno. Tapi di era Soeharto ajaran komunis dilarang,” paparnya.
Arbi menyampaikan, era sekarang ini tak hanya komunisme yang berbahaya dan harus disingkirkan di Indonesia. Tapi bahaya laten islamisme harus dilawan karena negara Islam yang membuat agama sebagai ideologi bernegara.
“Islamisme inilah yang menjadi radikal menjadi ekstrim menjadikan terorisme. Sekarang sudah ada buktinya melalui ISIS bahwa Islam dijadikan dasar terorisme dan beberapa negara di Timur Tengah sudah hancur gara-gara Islamisme ini,” tegasnya.
Untuk itu, ia mengusulkan pada pemerintah untuk memberantas paham radikal yang sudah mulai ada akarnya di Indonesia seperti bara api harus dipadamkan mumpung belum membesar.
“Kalau tidak kita cegah perkembangannya di Indonesia dan kalau sudah besar kita nggak bisa lagi melawan mereka. Maka kita akan ikut terbakar dan ini sangat berbahaya jika kita tak melawan mereka,” terangnya.
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini tak membantah proses demokratisasi memberikan ruang kebebasan bagi seluruh warga untuk berkumpul dan berserikat. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh paham radikal ini seperti ISIS.
“Memang demokrasi memberikan kebebasan individu untuk berserikat. Tidak boleh individu-individu mengorbankan orang-orang yang lebih banyak, tidak boleh. Dua-duanya harus diakomodir karena ada individu, ada orang banyak dari masyarakat bangsa dan negara. Kita harus eksis tapi kalau ada yang dari salah satunya membahayakan bagi NKRI. Maka kita harus ditindak tegas mereka,” pungkasnya. (JODIRA)