Rakyat Jangan Menyandarkan Nasib kepada Para Politisi, Kalau Tidak Seperti Ukraina

Zenlensky adalah artis penghibur yang menjelma menjadi politisi. Di negara yang menerapkan pemilu bebas, selalu banyak para pesohor dunia hiburan mengundi nasib menjadi politisi guna meraih jabatan publik. Di Indonesia juga banyak begitu. Di Amerika, Ronald Reagan adalah juga dari jalur begitu. Estrada di Filipina juga begitu. Istimewanya Zenlensky apa?
Alkisah, Ukraina dibawanya perang dengan Rusia. Dia sama sekali tidak memperkirakan bahwa kelak Amerika Serikat yang menjadi andalannya, justru berbalik memeras Ukraina. Siapa juga memperkirakan Trump yang memimpin Amerika sekarang ini bergeser menjadi sekejam itu pada Ukraina.
Seperti yang Anda tahu, Amerika dan Rusia mengadakan perundingan terkait masa depan perang di Ukraina di Arab Saudi baru-baru ini tanpa melibatkan pihak Ukraina. Jelas Ukraina merasa dirugikan. Dia yang dibahas dan ditentukan nasibnya, tapi dia tidak diajak bicara. Sudah itu, salah satu perkaranya, Amerika akan hentikan bantuan keuangan dan suplai senjatanya ke Ukraina, dan menuntut pihak Ukraina mengganti utang-utangnya ke Amerika dengan bahan-bahan tambang yang mereka miliki. Jelas Ukraina tidak mau. Ukraina tidak menganggap bantuan keuangan dan persenjataan untuk perang buat NATO itu sebagai hutang yang harus dibayar dengan tukar guling aset negara begitu saja. Walhasil Ukraina tersudut bagai buah simalakama. Ukraina seperti terkucil dan kecele. Sebab, bagaimanapun bantuan terbesar berasal dari Amerika Serikat, kendati terdapat negara-negara besar eropa lainnya turut membantu.
Pada mulanya, Ukraina diserang Rusia karena ngotot ingin bergabung dengan NATO. NATO sendiri dedengkotnya ialah Amerika Serikat. Bagi Rusia jika Ukraina, mantan sesama unsur USSR itu bergabung, maka Rusia praktis berhadapan secara muka ke muka dengan NATO. Bagi Rusia, hal semacam itu membahayakan bagi mereka. Rusia akhirnya menyerang Ukraina, daripada dikepung NATO. Perang pun berkecamuk dengan hilangnya nyawa, harta, keamanan, harapan penduduk, infrastruktur, dst, yang tidak terbilang lagi banyaknya sampai saat ini. Ini adalah kehendak dan andil politisi, yaitu Zenlensky. Coba kalau Zenlensky tidak mengambil keputusan semacam itu, tentu nasib rakyat Ukraina akan tetap aman, tidak terperosok ke lembah perang. Beginilah jika suatu rakyat menyerahkan nasibnya kepada para politisi. Apalagi politisi tersebut berasal dari antah berantah.
Pelajaran ini penting bagi kita di Indonesia. Rakyat Indonesia juga 11 12 dengan rakyat Ukraina yang nasibnya senantiasa digiring dan dipegang para politisi. Persoalan ini memerlukan jalan keluar, supaya nasib rakyat tidak mati konyol dan rugi massal.
Rakyat dapat mengorganisir diri mereka secara politis dengan basis bukan partai yang biasanya diperjudikan oleh para politisi untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan personal mereka saja. Bayangkan, jika kita berada dalam posisi rakyat Ukraina, yang sudah terlanjur berkorban nyawa dan harta demi ambisi politisi seperti Zenlensky.
Saya kira misalnya, jamaah-jamaah berbasis masjid dapat mendirikan Majlis Permusyawaratan Masjid untuk maksud kepemimpinan masjid di dalam masyarakat secara langsung, bottom up dan hirarkis sebagai anti tesis dan alternatif bagi pengelompokan politik yang dinikmati partai-partai selama ini. Sebab, partai-partai sudah berubah laiknya perusahaan keluarga, sementara rakyat tidak punya saham untuk mengendalikan partai, dimana nasib mereka dipertaruhkan.
Sekarang lihat saja, apa saja kebijakan mengatasnamakan kepentingan negara dan rakyat dapat begitu saja diluncurkan oleh para politisi yang memegang negara tanpa suatu konsultasi dan umpan balik kepada rakyat, apakah benar-benar rakyat setuju atau tidak. Sangat berbahaya menurut saya, jika kehendak dan nasib rakyat dan negara dipersonifikasi secara subjektif oleh para politisi yang merasa kuat dan berkuasa. Rakyat sudah harus melawan dan bangkit, demi nasibnya sendiri. Jika kita tidak mengurus dan membela nasib kita sendiri, siapa lagi? Mengharap politisi? Mereka dengan santai menjual tanah air, udara dan lautmu, untuk kesenangan mereka saja. Bagaimana mungkin Jokowi, tokoh korup versi OCCRP dapat menjadi pengurus lembaga raksasa Danantara, dimana kita sudah mengerti sepakterjangnya yang ugal-ugalan menjual negara ini?