Re-OTT Patrialis Akbar (2)
Oleh: Arteria Dahlan* (Bagian II dari dua tulisan, habis)
Berikutnya, saya menarik pernyataan saya 2 tahun lalu yang menolak untuk dilakukan pengawasan eksternal terhadap MK. Saat ini saya berpendapat wajib hukumnya, sebagai affirmative action bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial dan badan ad hoc yang berada diluar MK.
Langkah ini harus diambil sebagai upaya darurat untuk memulihkan kepercayaam publik terhadap MK. Lalu saya minta pemerintah segera mengusulkan revisi UU MK untuk segera dibahas bersama DPR.
Alasannya, dampak yang ditimbulkan tidak hanya potensi, akan tetapi telah menjadi bukti yang sempurna bahwa 9 orang hakim ini negarawan. Akan tetapi ternyata nafsu keduniawianya dan hasrat setan lainnya masih ada melekat dan kental sekali. Oleh karena itu wajib diawasi, tinggal kita bicara instrumen dan bentuk konkritnya seperti apa.
Saya juga meminta MK untuk bertanggung jawab, kalau Ketua MK mundur itu lebih baik kita punya contoh bagaimana integritas dan harga diri itu lebih utama ketimbang jabatan seperti kejadian dirut citilink baru-baru ini. Kalaupun tidak, ketua MK lakukan langkah konkrit tidak hanya statement retoris, tapi melakukan penyidikan internal.
Atau Ketua MK libatkan dan bentuk tim investigator yang melibatkan publik, kan kejadian ini bukan yang pertama, dan pada masa kepemimpinan beliau kita juga dengar bagaimana desas desus adanya jual beli perkara dalam pilkada Kabupaten Muna yang sampai dilakukan pemungutan suara ulang hingga dua kali, dan kasus-kasus lainnya.
Jadi beliau mending lakukan hal konkrit, buka posko penerimaan putusan-putusan bermasalah, korban keadilan MK pun juga punya nama-nama hakim yang katanya terlibat. Di mana penyelidikan dapat dimulai dari sana, begitu juga diperiksa juga panitera yang mengatur lalu lintas perkara.
Sekjen MK yang sering berkomunikasi dengan pihak eksternal, petugas persidangan, dan para pengkaji dan staf ahli. Kita jangan terlalu lugu kalau kejahatan ini dilakukan oleh satu orang. Sulit juga untuk mengembalikan kepercayaan publik bahwa hakim MK, panitera, sekjen dan petugas persidangan dan pengkaji tidak korup dan memang berintegritas.
Sedih dan betul-betul kecewa kalau benar “draft putusan telah beredar di tangan pemegang kapital”. Di mana marwah MK yang katan isinya negarawan? Tapi faktanya praktek setan sehingga peradilan sesat dan putusan zalimlah yang menjadi produknya.
Dewan Etik silahkan dibentuk dan bekerja tapi yang lebih utama membongkar sumber malapetaka ini sampai ke akar-akarnya. Buat posko pengaduan kalau perlu saya yg menjadi inisiator, libatkan para pencari keadilan yang sempat terzalimi, bahkan kalau perlu kita minta keterangan Akil Mochtar dan para mantan-hakim hakim kembali, apa iya Pak Akil main cuma sendiri.
Saya minta Pemerintah serius untuk benahi MK, sebagai pilot project penegakan hukum yang berdampak masif bagi institusi kenegaraan, apalagi saat ini yg dimainkan adalah rumusan norma/pasal dalam UU. Ini merupakan kejahatan serius setara dengan subversive yang berdampak langsung bagi sendi kehidupan negara.
Karena UU itu sejatinya adalah daulat rakyat, sekaligus instrumen hukum dari penjabaran norma konstitusi sebagai kontrak sosial, perjanjian negara dengan rakyatnya. UU itu sangat sakral dan bernuansa indonesia raya tapi oleh MK dibuat sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan dan ditunggangi oleh pemegang kapital, yang pastinya berdampak masif.
MK segera harus berbenah dan menyadari dampak dari akrobat-akrobat hukumnya melalui putusannya. Walau tidak bisa dibuktikan adanya praktik jual beli pasal, putusan MK terkait keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden di 2019 ini membawa dampak yang sangat luar biasa. Dan jujur saja jauh dari perbaikan demokrasi.
Lalu putusan MK yang memperbolehkan petahana (incumbent) untuk ikut pilkada tanpa penjabaran lebih lanjut, berdampak buruk bagi penyehatan demokrasi dan menyuburkan oligarki politik. Begitu juga putusan MK terkait suara terbanyak dalam pemilu yang melahirkan liberalisasi politik yang jauh dari semangat demokrasi pancasila.
Belum lagi kalau kita bicara yang lain, seperti diwajibkannya DPR dan PNS untuk mundur dari jabatannya jika ingin mencalonkan sehingga publik kesulitan untuk mencari pemimpin yang berkualitas. Tapi kan rakyat selama ini diam saja. Padahal hukum dan demokrasi serta konstitusi sudah tergerus oleh “penjaga”nya sendiri.
Saya minta KPK fokus pada penegakan hukumnya, tidak perlu bermain di ranah “infotainment” seperti ditangkap bersama wanita yang akan menjadi istri dan seterusnya. Kasihan pihak keluarga, kita saja kaget, jangan ditambah luka dan duka keluarga.
Walau bagaimana pun Pak Patrialis pastinya adalah figur ayah dan suami yang terbaik di mata mereka. KPK fokus untuk buktikan adanya penerimaan pertama, kedua dan akan ada penerimaan ketiga dan itu terkait langsunh dengan perkara.
Buktikan dengan jelas sehingga baik bagi Pak Patrialis dan keluarga, bagi rakyat dan kita semua seperti diterima sebagai proses hukum dan penegakan hukum yang mengedepankan peradaban kemanusiaan.
Seandainya benar ada transaksi pasal. Tentunya dengan segala hormat saya dengan Pak Patrialis, yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan di mata hukum. Dan saya minta dihukum yang seberat-beratnya dan kalau perlu hukuman mati.
Kita boleh tersesat, tapi kalau sesatnya sampai pd rente ayat UU yang menjadi “instrumen pengarah” berbangsa yang menentukan nasib bangsa ke depan ya beliau harus dapat hukuman yang setimpal tapi tentunya dengan proses penegakan hukum yang adil dan berkepastian.
Penulis: Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan