Redupnya Militansi dan Misi Semula HMI MPO

Pada 2 Maret 2025 yang lalu saya telah membahas HMI dengan judul HMI MPO, Mau Kemana Tujuan Akhirmu?
Mengapa tulisan itu muncul? Tentu ada sebabnya. Sebagai pribadi yang cukup lama di HMI MPO dan masih saja mengamati perkembangan dan perubahannya, terutama setelah diisi oleh generasi mutaakhirin. Saya melihat banyak sekali perubahan, yang memang hal itu tak dapat dihindarkan. Namun eloknya, perubahan itu hendaknya ke arah yang lebih baik dan bermutu.
Untuk mengatakan bahwa yang ternyata perubahan itu bukan ke arah yang lebih bermutu, saya tidak akan buru-buru mengaminkannya. Yang jelas, dari segi mentalitas, orientasi dan perilaku pada sebagian besar anggota HMI MPO, agaknya terjadi perubahan yang signifikan. Sampai-sampai sesepuh seperti Abdullah Hehamahua pada kesempatan buka bersama PB HMI di rumah dinas Tamsil Linrung, mantan Ketua Umum PB HMI MPO ke II, menyatakan bahwa dia sekarang sudah sulit membedakan mana HMI MPO dan mana HMI Dipo.
Dulu memang dikesankan bahwa HMI MPO diisi oleh mahasiswa-mahasiswa dengan orientasi keislaman yang kuat, sehingga mengakibatkan perilaku beragama mereka lebih ketat, konsekwen dan total. Dengan sifat perilaku keislaman semacam itu, memaksa kelompok HMI MPO bersikap militan guna survive dan mempertahankan komunitas kecilnya di tengah lingkungan yang tidak ramah berislam ketat dan konsekwen. Sekarang, seolah gejala tersebut yang pernah menjadi sifat komunitas HMI MPO telah menjadi kenangan.
Sekarang ini, penanaman dan pengembangan motif untuk aktif di dalam organisasi HMI MPO, mungkin saja sudah bergeser. Hal itu gampang dideteksi, dari isi percakapan, wacana dan kegairahan para aktivis HMI MPO di dalam menitikberatkan aktivitas mereka.
Barangkali generasi baru yang mengisi relung-relung organisasi HMI MPO dari tingkat komisariat hingga PB HMI, tidak memperoleh sosialisasi yang cukup terkait reasoning HMI MPO itu sendiri. Misalnya, saya melihat tidak banyak yang mengetahui secara lebih jelas dan detail bagaimana kronologi HMI MPO itu muncul dalam sejarahnya.
Aktivitas riset individual para aktivisnya untuk mengumpulkan dan meneliti informasi HMI MPO yang sempat direkam oleh media massa pada tahun jelang pertengahan dan akhir 1980-an itu, saya sangsi tidak dilakukan oleh generasi sekarang, atau mungkin sudah tidak ada, yang melakukannya. Padahal, bahan untuk hal tersebut guna merekonstruksi sejarah HMI MPO, masih tersedia dan melimpah. Majalah Tempo edisi 80-an, Panjimas, Kedaulatan Rakyat, dan sebagainya, cukup perhatian merekam dinamika HMI masa itu.
Aktivis dan anggota HMI MPO tampaknya sudah merasa puas dengan penuturan verbal para instruktur dan satu dua buku sebagai pedoman, seperti buku karangan Rusli Karim. Akibat dari tidak cukupnya pengetahuan mengapa HMI MPO itu muncul, wajar jika dinamikanya seperti sekarang yang juga disayangkan oleh Yusuf Hidayat dalam ceramahnya di acara Buka Bersama PB HMI di atas itu.
Lama-lama akan semakin besar gejala bahwa HMI MPO hanyalah sekedar organisasi kemahasiswaan tanpa suatu alasan yang jelas dan ideologis kecuali sekedar sarana orang per orang untuk mengkoneksikan diri para anggotanya kepada alumni-alumni yang secara terbatas mulai muncul sebagai elit nasional. Interest-nya semata-mata oportunis untuk keuntungan kedudukan dan ekonomi saja. Tak lebih dan tak kurang.
Semoga gejala ini dapat direspon para aktivisnya, terutama dapat dipecahkan menjelang kongres di Pekanbaru nanti.