Rekonstruksi Hak Angket
Oleh: Despan Heryansyah, Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)
Pengaturan hak angket dalam UU MD3 belakangan ternyata menyisakan banyak persoalan, dalam Pasal disebutkan bahwa Frasa “Pengawasan pelaksanaan undang-undang” memberikan cakupan yang begitu luas, karena seluruh lembaga negara di negeri ini pengaturan lebih lanjutnya diatur dengan undang-undang, UUD hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum dan sangat abstrak saja.
Dengan demikian, apakah semua lembaga negara yang menjalankan undang-undang tersebut dapat diajukan hak angket oleh DPR? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dilihat lebih jauh sejarah latar belakang lahirnya hak angket dan konsepsi pemisahan lembaga negara.
Hak angket sesungguhnya adalah hak yang lehir di Eropa, tepatnya di Ingris pada kisaran abad ke 14. Kehadiran hak angket dalam rangkat memperkuat posisi parlemen dan mengimbangi kedudukan raja yang demikian absolut.
Hak angket digunakan oleh parlemen untuk menyelidiki jika ada kebijakan raja yang dirasa bertentangan dengan hukum yang berlaku. Jadi hak angket adalah murni lahir dalam interaksi hubungan antara parlemen dan raja sebagai eksekutif.
Di sisi lain, kehadiran hak angket juga merupakan jalan tengah atau sintesa dalam torak-tarik antara pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaaan. Meski memiliki kewenangan yang berbeda namun antar satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain tidak di pisahkan secara mutlak, terdapat pola check and balances agar antar satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain saling mengawasi dan mengimbangi.
Hak angket lahir juga dalam kerangka itu, agar terdapat hubungan dan keterkaitan antar lembaga eksekutif sebagai pelaksanaa undang-undang dan legislatif sebagai pelaksana undang-undang. Namun demikian, lembaga yudikatif sebagaimana peran awalnya adalah untuk mengawasi, harus merdeka dan bebas dari intervensi lembaga negara lain apalagi yang sifatnya politis. Dalam konteks ini, maka hak angket sejatinya tidak menjangkau hingga pada sistem penegakan hukum (law enforcement).
Cek Kosong
Oleh karena itu, jika ditarik ke belakang, maka keberadaan hak angket di Indonesia yang cakupan pengaturannya hingga ke semua lembaga negara yang melaksanakan undang-undang menjadi tidak tepat. Hak angket seharusnya hanya ditujukan kepada presiden apabila suatu ketika ada kebijakan presiden yang menurut DPR bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Output yang dihasilkan pun menjadi sangat konkret berupa pemberian pertimbangan kepada presiden atau jika terdapat unsur-unsur pidana misalnya setelah dilakukan penyelidikan, maka hak angket dapat berlanjut hingga ke impechment.
Sementara jika hak angket ditujukan kepada lembaga negara lain, apa output yang dapat dihasilkan oleh DPR? Apakah DPR juga akan memberhentikan pimpinan lembaga negara lain? Padahal konstitusi tidak mengamanatkan demikian.
Pada tataran yang paling ekstrim, bagaimana jika misalnya DPR juga mengeluarkan hak angket untuk Mahkamah Agung (MA), Kepolisian, BPK, atau lembaga negara yang lain? Tentu akan sangat mengacaukan sistem ketatanegaraan Indonesia, terlebih akan mengacaukan sistem pegakan hukum yang sudah bertahun-tahun pasca reformasi coba kita bangun kembali. Hal ini bukan tidak mungkin karena lembaga-lembaga tersebut juga menjalankan undang-undang.
Dua Jalan
Oleh karena itu, sebelum dampak yang dihasilkan menjadi semakin besar, keberadaan hak angket harus kita kembalikan pada fungsi awalnya. Hak angkat harus dibatasi pada kewenangan DPR dalam rangka mengawasi kebijakan presiden, bukan terhadap lembaga negara lain terlebih lembaga penegak hukum.
Dalam konteks ini, ada dua jalan yang mungkin untuk dilakukan, pertama adalah dengan merubah UU MD3 terutama yang terkait pengaturan hak angket. Tapi jika melihat konfigurasi di DPR saat ini, rasanya jalan ini sulit untuk diwujudkan. Kedua, adalah dengan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
Jalan kedua ini yang sangat mungkin untuk dilakukan, karena tidak membutuhkan langkah politik apapun. MK tentu saja berwenang mengujinya, karena selain keberadaan hak angket diatur dalam UUD 1945, juga dalam rangka untuk menjaga marwah konstitusi Republik Indonesia. []