RUU Penyelenggaraan Pemilu Anti Ideologi Pancasila

 RUU Penyelenggaraan Pemilu Anti Ideologi  Pancasila

Anggota DPR RI Komisi II Fraksi PKB Daerah Pemilihan Jawa Barat X (Kuningan, Ciamis, Banjar, Pangandaran) Yanuar Prihatin

Oleh: Yanuar Prihatin*

RUU Penyelenggaran Pemilu yang akan segera dibahas antara DPR dan pemerintah memiliki cacat fundamental yang serius.  Yaitu, secara sengaja, RUU yang diusulkan pemerintah ini mengabaikan upaya penguatan ideologi Pancasila. RUU ini tidak menyediakan ruang yang cukup atau aturan yang memadai untuk mendukung penguatan ideologi Pancasila.

Padahal setiap undang-undang apapun, apalagi undang-undang politik, semestinya  menjadi bagian penting untuk memperkuat dan menjamin kelangsungan ideologi Pancasila.

Upaya menyepelekan Pancasila itu tercermin dari langkanya pasal-pasal dalam RUU ini yang secara khusus menjamin penguatan ideologi Pancasila.  Jikalau ada aturan yang menyinggung soal Pancasila, itupun terbatas menyangkut  persyaratan tentang  kesetiaan kepada Pancasila.

Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu tertulis seperti ini: “Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;” Syarat ini berlaku untuk calon anggota penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Namun ada yang aneh, persyaratan kesetiaan ini dibatasi hanya kepada pengertian Pancasila sebagai dasar negara. Kenapa hanya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tidak dinyatakan eksplisit setia juga kepada Pancasila sebagai ideologi? Dasar negara dan ideologi adalah dua nomenklatur yang berbeda makna.

Sebagai dasar negara, maka Pancasila menjadi landasan kehidupan bernegara mencakup cita-cita negara, tujuan negara dan norma bernegara.  Sedangkan ideologi  merupakan jalan bagi dasar negara untuk memiiliki kerangka implementatifnya. Sebagai ideologi, maka Pancasila semestinya memuat pandangan-pandangan, gagasan-gagasan, ide-ide, cita-cita, nilai,  sistem keyakinan dan sistem tindakan yang  memuat berbagai bidang kehidupan manusia.

Pancasila sebagai dasar negara sudah final, namun sebagai ideologi Pancasila masih memerlukan penguatan, pengembangan,  penghayatan, pengamalan dan pembumian yang makin nyata. Saat ini, Pancasila sebagai ideologi tengah mengalami krisis serius.

Pancasila belum memiliki formula yang kongkret, terpadu, sistematis dan menyeluruh untuk menjadi pedoman penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa. Kondisi ini semestinya menjadi tantangan bagi semua pihak, terutama para penyelenggara negara, untuk lebih serius merumuskan formula Pancasila sebagai ideologi, bukannya lari makin menjauh dari Pancasila.

RUU Penyelenggaraan Pemilu sangat  jelas tidak mempertimbangkan situasi krisis ideologi itu. Menurut RUU ini, calon penyelenggara negara yang nanti ikut kompetisi dalam pemilu  sama sekali tidak dibebankan tugas, tanggungjawab, kewajiban dan ikatan apapun untuk setia kepada Pancasila sebagai ideologi.

Artinya, RUU ini melegalisasi para pemimpin yang muncul dari hasil pemilu untuk  berselingkuh dengan ideologi lain selain Pancasila. Mereka akan memimpin negara yang berdasar Pancasila tapi dibebaskan untuk lebih percaya sekaligus dihalalkan menggunakan  ideologi lain selain Pancasila untuk mengatur penyelenggaraan negara ini.

Dan seperti itulah yang memang terjadi di kalangan para penyelenggara negara kita selama ini. Terbukti penihilan dan penolakan diam-diam terhadap Pancasila malah makin membuat negara ini makin menjauh dari cita-cita nasionalnya, ditandai oleh berbagai korupsi, terorisme, narkoba, bahkan penistaan agama serta krisis akhlak dan moral yang merebak di mana-mana.

Ini jelas situasi yang sangat berbahaya bagi masa depan Pancasila.  RUU Penyelenggaraan Pemilu seharusnya mampu menjadi benteng kuat untuk  kelangsungan Pancasila sebagai ideologi. Yakni dengan jalan memperketat syarat calon, baik calon presiden/wakil presiden, legislatif maupun penyelenggara pemilu,  agar juga setia kepada Pancasila sebagai ideologi.

Jadi, rumusan dalam norma RUU harus diubah menjadi setia kepada Pancasila, jangan dibatasi hanya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara.  Jika diperlukan, penjelasan dalam  undang-undang ini nantinya harus memuat rincian makna dan maksud Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi sekaligus.

Pertanyaan penting berikutnya adalah, apa ukuran yang layak dan memadai untuk menilai bahwa seorang calon benar-benar setia kepada Pancasila?  Ukuran yang digunakan dalam RUU ini sangat simplistis, kacau dan menyesatkan. Untuk mengukur kesetiaan terhadap Pancasila, seorang calon cukup hanya membuat pernyataan tertulis  bermaterai. Jelas ini ngawur,  tidak layak, tidak bertanggungjawab dan sangat formalistis, dan karenanya harus dikoreksi sungguh-sungguh.

Apakah dengan surat pernyataan pribadi yang subyektif itu seorang calon serta merta bisa digolongkan sebagai orang yang setia kepada Pancasila?  Untuk persyaratan yang lain ada uji dan tes khusus, seperti  syarat sehat jasmani dan rohani diperlukan pernyataan dari institusi yang kompeten dan kredibel yaitu rumah sakit atau puskesmas.

Untuk membuktikan bahwa seorang calon telah lulus sekolah/perguruan tinggi diperlukan legalisasi dari institusi pendidikannya. Untuk membuktikan bahwa dia warga negara Indonesia diperlukan Kartu Tanda Pendudukan (KTP), dan seterusnya.

Tapi, untuk soal yang sangat penting dan fundamental yakni kesetiaan kepada Pancasila, kenapa tidak ada pembuktian apapun? Ini jelas aneh. Pasti ini lahir dari cara pandang yang sesat dan harus diwaspadai sebagai ancaman terhadap Pancasila. Ancaman yang melemahkan Pancasila saat ini bisa datang dari mana saja, termasuk dari para penyelenggara negara itu sendiri, baik sengaja maupun tidak sengaja, disadari maupun tidak disadari

Rumusnya itu sudah jelas. Ketahanan ideologi suatu negara dan bangsa terletak pada para pemimpinnya yang mengurus negara itu.  Jika para  penyelenggara negara sendiri sudah  dijauhkan dari Pancasila, apalagi menolak ideologi  Pancasila secara diam-diam, maka jelas itu akan meruntuhkan ideologi Pancasila, sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia.

Dari sudut pandang ini, RUU Penyelenggaraan Pemilu harus dikoreksi secara tepat dengan cara menetapkan persyaratan kesetiaan kepada Pancasila itu bukan bersifat formalistik belaka. Tapi benar-benar menggunakan alat ukur atau metodologi yang obyektif, faktual, valid dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik, moral, sosial dan konstitusional.

Kesetiaan terhadap sesuatu bukanlah sikap yang datang tiba-tiba, tapi merupakan serangkaian proses yang bertumpu pada pengetahuan, pemahaman,  pandangan, keyakinan dan keseluruhan sistem perilaku yang akhirnya membentuk sikap patuh dan setia terhadap sesuatu itu.  Tanpa unsur-unsur nyata ini, kesetiaan terhadap Pancasila adalah omong kosong belaka meskipun dinyatakan pribadi secara tertulis.

Karena itu wajar, pantas dan masuk akal jika kesetiaan calon penyelenggara negara kepada Pancasila harus dibuktikan dengan serangkaian uji dan tes. Kita harus memberikan mandat konstitusional kepada institusi yang kompeten dan kredibel untuk menguji kesetiaan seseorang terhadap Pancasila ini.

Salah satu institusi penting yang selama ini relatif konsisten untuk mengkaji, mendalami  dan mengembangkan diskursus Pancasila  dan Kepemimpinan Nasional adalah Lemhanas.  Apa salahnya jika Lemhanas turut serta dilibatkan dalam urusan yang satu ini.

KPU bisa kerjasama dengan berbagai rumah sakit dan puskesman untuk urusan pembuktian sehat jasmani dan rohani, pasti bisa juga kerjasama dengan institusi lain untuk uji kesetiaan terhadap Pancasila. Sudah saatnya RUU Penyelenggaraan Pemilu dirancang untuk menjamin kelangsungan hal-hal fundamental negara ini, bukan sekedar mengatur soal-soal teknis adminsitratif praktis pragmatis menyangkut  jabatan dan kekuasaan belaka. Jangan sampai terjadi, publik kemudian menghakimi bahwa RUU politik ini anti Pancasila.

Anggota DPR RI Komisi II Fraksi PKBDaerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat X (Kuningan, Ciamis, Banjar, Pangandaran)

Facebook Comments Box