Sekjen PPP: Kritikan Itu Kami Anggap Sebagai Obat Kuat untuk Kerja di Pemilu 2019
JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani angkat suara terkait kritikan sejumlah pengamat dan akademisi pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu yang ‘mendukung’ Ahok-Djarot. Pada Pilkada Sumatera Utara PPP kembali dukung Djarot.
Bagi Arsul, apapun yang disampaikan oleh pengamat, itu baik buat PPP. Ia berjanji akan buktikan pada pemilu 2019, PPP tetap eksis.
“Tentu setajam atau senyinyir apapun kami anggap sebagai jamu pahit untuk memperbaiki PPP ke depan,” kata Arsul pada wartawan, Jakarta, Ahad (14/1/2018).
“Hanya saya juga perlu memberikan beberapa catatan bahwa ketika bicara tentang PPP, segelintir akademisi ataupun pengamat sosial tidak hanya menggunakan basis keilmuannya tetapi juga aspek emosionalitasnya dalam melihat persoalan yang ada di PPP. Bahkan aspek emosionalitas pada diri akademisi atau pengamat sosial-politik yang bersangkutan sering kali lebih dominan dari pada aspek rasionalitas-empiris yang seharusnya menjadi hal yang paling melekat dalam analisis atau hasil pengamatannya,” sambung Arsul.
Mengapa keadaan seperti ini terjadi? Menurut Arsul, prasangka baik (khusnudzon) PPP gunakan karena mereka itu sesungguhnya “cinta” terhadap PPP, hanya sedang “kecewa” mengingat latar belakang mereka juga sebagai (mantan) aktivis ormas pemuda atau mahasiswa Islam atau sekarang berafiliasi dengan ormas Islam tertentu yang garis dan sikap politiknya sedang berbeda dengan PPP.
“Meski ada juga di antara kami yang di dalam berprasangka tidak baik (suudzon) bahwa mereka adalah bagian dari kelompok yang sedang melakukan proses pemojokan atau peminggiran terhadap PPP karena berharap suara pemilih PPP beralih kepada partai berbasis ummat Islam lainnya yg lagi mereka “nge-fans” atau gandrungi,” papar Anggota Komisi III DPR RI ini.
“Sekali lagi jamu pahit dari sekelompok akademisi atau pengamat sosial politik ini mudah-mudahan dikirimkan sebagai obat, bukan racun untuk mematikan PPP. Sekarang ijinkan saya untuk merespon hal-hal yang terkait dengan subatansi atau ramuan (ingredients) yang terkandung dalam jamu pahit tersebut.”
Arsul juga menyampaikan, jamu pahit dari sekelompok akademisi atau pengamat itu diramu dengan bahan dari reaksi sebagian ummat Islam terhadap sikap Djan Faridz, dkk-nya sejak putaran pertama Pilkada DKI dan sikap PPP DKI Jakarta di putaran kedua Pilkada DKI serta sikap PPP dalam soal Perpu Ormas. Bukan pada PPP di bawah kepemimpinannya, yang konsisten membela kepentingan konstituen.
“Bahwa ada reaksi yang negatif dari sebagian ummat Islam dalam soal Pilkada DKI dan Perpu Ormas, dan kemudian belakangan ditambah dengan isu internal PPP di Pilkada Sumut tahun 2018 yang akan datang, maka itu merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri,” jelasnya Alumni FH-UI dan Glasgow School for Business & Society, GCU – Scotland U.K ini.
Untuk itu, ia berharap dalam tataran analisis dan pengamatan, akademisi dan pengamat sosial politik tersebut perlu melibatkan emosionalitas pribadi dan tidak cenderung meninggalkan rasionalitas-empiritas (fakta empiris) yang seharusnya juga mewarnai pikiran mereka.
“Salah satu tanda ditinggalkannya aspek rasionalitas dan fakta empiris tersebut adalah mereka tidak melakukan analisa, pengamatan dan menghitung faktor-faktor relasi internal-external PPP ketika “terpaksa” ikut mendukung Ahok di Pilkada DKI. Jika mereka mempertimbangkan faktor relasi ini, khsusunya yang dihadapi PPP dibawah kepemimpinan Romahurmuziy, maka tentu terbuka perbedaan hasil analisis dan pengamatan mereka, kecuali niat mereka dari awal memang untuk meneggelamkan PPP,” ujarnya. (HMS)