Sidang Uji Materiil Pasal 1, 2, dan 3 UU No.1/PNPS/1965 Kembali Disidangkan oleh MK
JAKARTA – Selasa, 10 Oktober 2017 telah dilangsungkan sidang Mahkamah Konstitusi tentang Uji Materiil Pasal 1, 2, dan 3 UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU terhadap UUD Tahun 1945.
UU tersebut dimohonkan oleh 9 (sembilan) orang Pemohon, seperti Asep Saepudin; Siti Masitoh; Faridz Mahmud Ahmad; Lidia Wati; Hapid; Drs. Iyep Saprudin; Anisa Dewi; Erna Rosalia; dan Tazis. Semuanya anggota komunitas Ahmadiyah.
Para Pemohon mendalilkan permohonannya bahwa Pasal 1, 2, dan 3 UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dgn Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam petitumnya Para Pemohon meminta agar Pasal 1, 2, dan 3 UU No. 1/PNPS/1965 tersebut secara konstitusional bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan Keterangan DPR RI; Keterangan Pihak Terkait Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII); dan Keterangan AHLI Para Pemohon. Sidang dihadiri Pemerintah dari Kementerian Hukum dan Ham.
Berhubung perwakilan dari DPR RI tidak ada yang hadir, dikarenakan konfirmasi Pihak DPR RI masih padatnya jadwal kegiatan persidangan dan kegiatan di DPR, sehingga oleh Mahkamah ditunda untuk dijadwalkan kembali pada sidang berikutnya. Mahkamah melanjutkan persidangan dengan mengambil sumpah 2 (dua) orang AHLI dari Para Pemohon, yaitu : Mohammad Qosim Mathar dan Zuhairi Misrawi.
Sidang dilanjutkan dengan mendengarkan Keterangan Pihak Terkait DDII yang dibacakan oleh Kuasa hukumnya Akhmad Leksono, SH.
Dalam keterangannya DDII melalui Kuasa Hukumnya Akhmad Leksono, SH., menyampaikan point keterangan sebagai Pihak Terkait, diantaranya, DDII didirikan untuk membentengi dan membela aqidah dan meningkatkan kefahaman Ummat terhadap nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan, yaitu: Aqidah, Ibadah, Akhlaq, dan Muamalah, termasuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan sebagai sumbangsih dalam membangun kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara dalam NKRI seutuhnya.
DDII Menanamkan aqidah dan pemikiran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah; Menyadarkan umat kewajiban dakwah dan membina kemandirian; serta Membendung pemurtadan, ghazwul fikri dan harakah hadamah.
DDII berpedoman pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang menyatakan: Menegaskan kembali keputusan Fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Akhmad Leksono, SH selaku kuasa hukum Kuasa DDII menegaskanbahwa Pengujian Pasal 1, 2, dan 3 UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor: 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 dengan amar putusan Menolak Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya, serta UU No.1/PNPS/1965 tersebut juga telah diputus MK melalui perkara Nomor: 84/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013 dengan putusan menolak seluruhnya permohonan Para Pemohon tersebut.
Sehingga semestinya Permohonan Para Pemohon Komunitas Ahmadiyah tersebut haruslah ditolak pula seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Sementara AHLI pertama Para Pemohon yakni Prof. Mochammad Qasim Mathar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, menyampaikan, Ahmadiyah sebagai Ormas Islam sama seperti HMI, Muhammadiyah maupun NU, sama-sama Islam. Arab Saudi bukan satu-satunya kiblat Islam, disana mazhabnya Wahabi. Itu kebijakan masing-masing negara.
“Kita menghormati Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dijadikan rujukan dan pedoman dalam menjalankan syariat Islam,” terangnya.
Menurut Ahli Moh. Qosim Mathar, paham Sunni salah satu aliran paling dominan dalam Islam seseorang layak disebut muslim bila mengimani dan melaksanakan lima rukun Islam. Menurutnya, di planet bumi ini ada 3 peta atau mazhab besar kaum muslimin yaitu Muslim Sunni, muslim Syiah, dan muslim Ahmadiyah. Ketiganya adalah Islam. Jadi diluar kesamaan-kesamaannya, tentu juga ada perbedaannya, namun tidak perlu menyebabkan seseorang atau kelompok dinyatakan bukan Islam.
Saksi AHLI kedua Para Pemohon Komunitas Ahmadiyah adalah Zuhairi Mishrawi, Director of Moderate Muslim Society. Ia menjelaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi Bayangan dalam teologi Ahmadiyah. Selain itu Ahli menghormati keputusan Fatwa MUI. Menurut Zuhairi, kesesatan bukan domainnya manusia atau MUI.
Sementara itu, pandangan dan masukan sekaligus pertanyaan prinsipal Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Drs. Moh. Siddik, MA., sebagai Prinsipal Pihak Terkait menyampaikan, dalam agama Islam diyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi-nabi setelah itu, sedangkan Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. DDII mempertanyakan sejauhmana pengetahuan saksi ahli tentang Ahmadiyah. DDII menilai keterangan kedua saksi ahli yang mewakili kepentingan Ahmadiyah banyak keganjilan, melebar kemana-mana dan tidak fokus.
Beberapa pertanyaan DDII, apakah mereka tahu bahwa Ahmadiyah di negara asalnya, Pakistan, merupakan ajaran yang dilarang berkembang? Apakah saksi Ahli tahu bahwa lembaga yang berkompeten di Saudi melarang jamaah Ahmadiyah berhaji?
Ust. Mohammad Siddik juga mengomentari bahwa sumber rujukan saksi ahli bahwa Imamullah yang mereka sebutkan bukanlah imam besar dalam Islam. Majelis Ulama Malaysia, Brunei dan Singapura, semuanya melarang ajaran Ahmadiyah berkembang. Hal tersebut terkait ajaran yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW dan ‘Tazkirah” yang menjadi kitab suci mereka selain Al-Qur’an.
Akhmad Leksono, SH, Kuasa Hukum DDII dalam keterangannya menegaskan, bahwa Pasal 1, 2, dan 3 UU No. 1/PNPS/1965 *Tidak Bertentangan* dgn Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, masih relevan diberlakukan dan tidak bertentangan dengan norma konstitusi. Sehingga Pihak Terkait meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan Para Pemohon ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. (A3)