Soal Pimpinan MPR, PPP Persilakan PKB Kaji Sendiri Ilmu Per-UU-an

 Soal Pimpinan MPR, PPP Persilakan PKB Kaji Sendiri Ilmu Per-UU-an

Logo PPP dan PKB (foto: net)

JAKARTA – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki pandangan yang berbeda terkait UU MD3 khususnya pada Pasal 427a Huruf c dari UU Nomor 2 Tahun 2018.

Pada pasal itu berbunyi, penambahan kursi wakil ketua MPR diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR dalam pemilihan umum tahun 2014 urutan ke-1, 3, hingga 6. Di dalam UU itu tak ada bunyi “kursi terbanyak” tapi suara terbanyak.

Untuk itu, Anggota Komisi III DPR RI yang juga Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Arsul Sani mengajak Fraksi PKB DPR RI untuk menanggapi pandangannya terkait pengisian kursi tambahan pimpinan MPR yang diklaim PKB dengan menggunakan nalar dan ilmu perundang-undangan, bukan dengan emosi dan suudzon (prasangka buruk).

“Ilmu perundang-undangan yang saya maksud adalah tentang metode penafsiran bunyi atau kata-kata dalam suatu produk hukum seperti UU MD3 ini,” kata Arsul seperti keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Menurut Arsul, untuk memahami bunyi UU melalui jalan penafsiran, maka tidak bisa dengan semaunya sendiri, melainkan harus menggunakan satu atau lebih metode penafsiran hukum yang dikenal. Diantaranya dengan metode tata bahasa (gramatikal) atau metode authentik.

“Penafsiran PKB bahwa kalimat “Partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR urutan keenam “Artinya sama dengan “partai yang memperoleh kursi terbanyak di DPR urutan keenam” pada Pasal 427A huruf c adalah penafsiran yang tidak ada basis metodenya alias cara penafsiran “semaunya”,” papar Arsul yang juga lulusan School of Law & Legal Practice, University of Technology, Sydney-Australia ini.

“Dari sisi tata bahasa atau diksi yang dikenal dalam ilmu kepemiluan maka antara kata “suara” dengan kata “kursi” adalah dua kata yang berbeda maksudnya dan tidak pernah dipergunakan secara bergantian (exchangeable). Perolehan suara dengan perolehan kursi adalah dua diksi yg berbeda dalam ilmu kepemiluan. Karena itu tidak bisa diklaim sebagai hal yang sama,” sambungnya.

Lebih lanjut Arsul menyatakan, jika memang maksud Pasal tersebut sama. Maka logikanya mengapa pula tidak menggunakan saja secara tegas kata “perolehan kursi”, bukan “perolehan suara”.

“Dengan demikian menutup ruang penafsiran yang berbeda,” tegas Arsun yang juga dikenal sebagai alumni aktivis HMI ini.

Arsul menyampaikan, dirinya menyampaikan hal tersebut karena kapasitasnya sebagai Anggota DPR dari Komisi Hukum dan Badan Legislasi yang punya tanggung jawab moral agar nantinya status atau kedudukan seorang pimpinan MPR tidak dipersoalkan secara hukum dikemudian hari.

Apalagi, lanjutnya, jika yang dipersoalkan menyangkut dasar penggunaan fasilitas negara atau alokasi anggaran yang melekat pada jabatan tersebut.

“Saya hanya mengingatkan saja agar jangan jadi kasus di belakang hari yang menambah panjangnya deret kasus tentang anggota atau pimpinan di DPR/MPR. Jadi ini gak ada urusannya dengan PPP gak legowo karena gak dapat kursi. Terlalu naif teman-teman PKB yang berpikiran seperti itu,” pungkasnya. (HMS)

Facebook Comments Box