SYUKUR: Menghitung Nikmat yang Tak Terhitung

 SYUKUR: Menghitung Nikmat yang Tak Terhitung

Oleh: Munawir Kamaluddin, Dosen UIN Alauddin Makassar

Hidup adalah perjalanan panjang yang penuh misteri, sebuah narasi yang tak pernah selesai ditulis hingga tarikan napas terakhir kita.

Di dalamnya, terdapat pergulatan batin yang tiada henti,antara menerima dan menolak, antara berharap dan kecewa, antara mengeluh dan bersyukur.

Namun, di mana sebenarnya posisi kita dalam perjalanan ini? Apakah kita telah benar-benar memahami arti dari setiap hembusan angin yang menyentuh wajah, setiap tetes hujan yang jatuh ke bumi, atau bahkan setiap kejadian yang, kadang, terasa tak adil dalam pandangan kita?

Pernahkah kita bertanya, mengapa manusia terkadang cenderung melihat dunia dari kacamata kekurangan? Mengapa kita terkadang lebih sering memusatkan perhatian pada apa yang belum dimiliki, alih-alih merenungi betapa banyaknya nikmat yang telah dianugerahkan?.

Tidakkah kita sadar bahwa kita sedang berdiri di atas tanah yang dipenuhi berkah, menghirup udara yang tak pernah ditagih bayarannya, dan menikmati hidup yang mungkin menjadi impian bagi mereka yang sedang berjuang di ujung batas kemampuan?

Pernahkah kita berhenti sejenak untuk merenungi nikmat yang kita miliki? Pernahkah kita menyadari betapa besar karunia yang telah Allah limpahkan kepada kita, meskipun sering kali terlewat oleh mata hati yang tertutup oleh keluh kesah?

Tidakkah kita merasa bahwa hidup ini, dengan segala liku dan ujiannya, adalah kesempatan emas untuk mensyukuri setiap detik yang berlalu?

Bayangkan sejenak mereka yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Tubuh yang dahulu kuat kini rapuh, napas yang dulu stabil kini berat. Mereka memandang dunia dari balik jendela kamar yang sunyi, merindukan kebebasan untuk berjalan di bawah sinar matahari.

Pernahkah kita berpikir, betapa beruntungnya kita yang masih bisa bergerak bebas, berjalan dengan langkah ringan, tanpa harus bergantung pada alat bantu atau tatapan iba?.Tidakkah nikmat kesehatan yang sering kita abaikan itu adalah anugerah yang tak ternilai?

Lalu lihatlah mereka yang berada di rumah tahanan. Di balik jeruji, mereka merasakan penyesalan mendalam, memikirkan kebebasan yang telah hilang.

Mereka berharap, seandainya waktu dapat diulang, mereka akan menjalani hidup dengan lebih baik. Pernahkah kita merenung, betapa bebasnya kita menjalani hari-hari tanpa rasa takut dan terkurung?. Apakah kebebasan itu telah kita syukuri, ataukah justru kita sia-siakan dengan keluhan tiada henti?

Pernahkah kita mengingat mereka yang telah pergi meninggalkan dunia ini? Mereka yang mungkin masih ingin merasakan kehangatan pagi, melihat orang-orang tercinta, atau bahkan sekadar menikmati makanan sederhana.

Namun, hidup mereka telah berakhir, dan tak ada satu detik pun yang bisa mereka kembalikan. Sedangkan kita, yang masih diberi kesempatan untuk hidup, apakah kita telah benar-benar menghargai waktu yang tersisa?.Ataukah kita justru menyia-nyiakannya dengan keluhan dan rasa putus asa?

Bayangkan pula mereka yang tak memiliki apa-apa. Orang-orang yang tinggal di bawah jembatan, yang tidur di emperan toko tanpa alas yang layak. Sementara kita, yang memiliki tempat berteduh dan makanan di atas meja, masih saja merasa kurang. Tidakkah hati kita tersentuh melihat mereka yang hanya berharap pada kemurahan hati orang lain?

Pernahkah kita melihat mereka yang hidup dengan keterbatasan? Yang tak bisa mendengar suara indah, tak bisa melihat warna dunia, atau tak bisa merasakan indahnya bergerak bebas. Tidakkah itu membuat kita menyadari betapa besar nikmat yang kita miliki, meskipun sering kita anggap biasa?

Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri:

Jika kita yang terbaring lemah di rumah sakit, masihkah kita merasa nikmat sehat ini kecil artinya?

Jika kita yang kehilangan kebebasan, apakah kita akan tetap mengeluh atas kebebasan yang dulu kita miliki tanpa syukur?

Jika kita yang tak memiliki apa-apa, tidakkah kita akan merindukan nikmat yang kini kita miliki?

Jika kita yang telah meninggal, apakah kita akan merasa cukup dengan amal dan rasa syukur yang telah kita persembahkan?

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)

Betapa banyak nikmat yang Allah berikan, hingga tak terhitung jumlahnya. Namun, sering kali manusia lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada kekurangan, alih-alih mensyukuri keberlimpahan. Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Barang siapa di pagi hari merasa aman dalam lingkungannya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa nikmat terbesar dalam hidup bukanlah kekayaan melimpah, melainkan rasa aman, kesehatan, dan kecukupan rezeki.

Lalu, mengapa kita masih merasa kurang? Apakah ini karena hati kita jauh dari rasa syukur?

Syukur adalah kunci kedamaian batin. Ia mengajarkan kita untuk menerima takdir dengan husnudzan, memandang segala sesuatu dari sisi positif, dan menjadikan setiap nikmat sebagai sarana untuk mendekat kepada Allah.

Syukur juga mendorong kita untuk berbagi, menyebarkan manfaat kepada sesama, dan menghindari sifat sombong yang dapat merusak hati.

Maka, mari kita renungkan:

Apakah kita telah memanfaatkan nikmat Allah untuk berbuat kebaikan, ataukah kita hanya sibuk memuaskan diri sendiri?

Apakah kita telah menjadikan syukur sebagai landasan hidup, ataukah kita masih terjebak dalam keluhan dan rasa tidak puas?

Apakah kita telah berbagi dengan mereka yang membutuhkan, ataukah kita menutup mata terhadap penderitaan orang lain?

Hidup ini adalah kesempatan untuk bersyukur, untuk menghargai setiap detik yang Allah berikan, dan untuk menjadikan setiap nikmat sebagai jalan menuju ridha-Nya. Maka, mari kita mulai perjalanan ini dengan hati yang penuh syukur, agar hidup kita penuh makna dan keberkahan.

Syukur: Konsep, Filosofi, dan Implementasi

Syukur adalah inti dari kehidupan spiritual seorang Muslim. Ia merupakan pengakuan atas karunia Allah, baik yang terlihat maupun tersembunyi.

Syukur tidak hanya melibatkan ucapan lisan, tetapi juga perasaan dalam hati dan perbuatan nyata. Dalam kondisi apapun, syukur menuntut sikap optimis, husnudzan (berbaik sangka), dan pengendalian diri dari keluh kesah atau menyalahkan keadaan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa syukur adalah kunci keberlanjutan nikmat dan penghindaran dari murka Allah.

Makna Syukur dalam Islam

Secara etimologis, kata “syukur” berasal dari akar kata شَكَرَ yang berarti “memperlihatkan kebaikan.” Dalam terminologi syariat, syukur berarti mengakui nikmat Allah dengan hati, lisan, dan amal perbuatan. Syukur sejati mengharuskan seseorang untuk:

1. Mengakui segala nikmat berasal dari Allah.
Allah berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka itu dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)

2. Menggunakan nikmat sesuai dengan keridhaan Allah.
Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ
“Barang siapa tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud)

Ini menunjukkan bahwa syukur mencakup penghargaan terhadap sesama manusia yang menjadi perantara nikmat Allah.

3. Menghindari keluh kesah dan menyalahkan takdir.
Dalam hadits qudsi, Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ، وَلَا أُبَالِي
“Wahai anak Adam, selama engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampuni dosa-dosamu, dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi)

Filosofi Syukur: Perspektif Kehidupan

1. Melihat yang Lebih Susah
Rasulullah SAW.bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu, jangan melihat orang yang di atasmu, karena hal itu lebih pantas untuk membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Melihat mereka yang lebih menderita membawa kesadaran akan betapa banyak nikmat yang masih kita miliki.

2. Husnudzan kepada Allah
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Dalam hidup, tidak semua yang terlihat buruk benar-benar buruk. Dengan husnudzan, seseorang yakin bahwa segala sesuatu adalah ketetapan terbaik dari Allah.

3. Optimisme dalam Takdir Allah
Rasulullah SAW.bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya adalah kebaikan, dan itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali orang mukmin.” (HR. Muslim)

Dengan optimisme, seorang mukmin melihat hikmah dalam setiap ujian.

Syukur: Implementasi Praktis

1. Syukur dengan Hati
Menginternalisasi rasa syukur atas nikmat hidup, kesehatan, keluarga, dan segala sesuatu yang Allah berikan.

2. Syukur dengan Lisan
Mengucapkan “Alhamdulillah” secara tulus. Rasulullah SAW. bersabda:
الْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ
“Ucapan ‘Alhamdulillah’ memenuhi timbangan.” (HR. Muslim)

3. Syukur dengan Perbuatan
Menggunakan nikmat untuk kebaikan. Sebagai contoh, harta yang digunakan untuk membantu orang lain adalah wujud nyata syukur.

Syukur sebagai Solusi Kehidupan

Meningkatkan Kesejahteraan Spiritual:
Syukur menciptakan ketenangan jiwa dan mendekatkan kita kepada Allah.

Mengatasi Stres dan Keluh Kesah:
Dengan bersyukur, fokus berpindah dari kekurangan ke kelebihan, menciptakan rasa puas dan bahagia.

Membangun Hubungan Sosial yang Harmonis:
Bersyukur kepada manusia atas kebaikan mereka memperkuat ikatan sosial dan menghindari konflik.

Sehingga dengan demikian maka syukur adalah pilar utama kehidupan seorang Muslim yang menjadikan hidup lebih bermakna dan berkah.

Ia melibatkan hati yang lapang, lisan yang memuji, dan tindakan yang bermanfaat. Dengan mengingat bahwa segala sesuatu adalah takdir terbaik dari Allah, seorang mukmin tidak akan berkeluh kesah atau menyalahkan keadaan. Sebaliknya, ia selalu melihat sisi positif, menghargai nikmat, dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:56).

*Seruan untuk Pandai Bersyukur*

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“…Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Didalam Surah Ar-Rahman menjadi seruan yang sangat kuat bagi manusia dan jin untuk merenungi nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.

Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surah tersebut untuk menekankan pentingnya kesadaran atas nikmat Allah dan sebagai pengingat agar kita tidak menjadi hamba yang kufur nikmat.

Makna Ayat dalam Konteks Syukur

1. Kesadaran atas Nikmat Allah
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan manusia untuk mengenali dan mengakui nikmat-Nya. Nikmat tersebut meliputi segala hal, mulai dari penciptaan manusia, langit, bumi, rezeki, hingga kemampuan beriman kepada Allah. Tanpa kesadaran ini, manusia cenderung mengabaikan atau bahkan mendustakan nikmat yang telah diterima.

2. Kewajiban Bersyukur
Bersyukur merupakan salah satu kewajiban hamba kepada Allah. Dalam Surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman:
“لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ”
(Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih).
Ayat ini menunjukkan bahwa syukur tidak hanya menjadi bentuk pengakuan atas nikmat, tetapi juga menjadi jalan untuk mendapatkan tambahan nikmat dari Allah.

3. Perbandingan Antara Bersyukur dan Mendustakan
Kata تُكَذِّبَانِ (mendustakan) menunjukkan peringatan kepada mereka yang tidak mengakui nikmat Allah. Pendustaan nikmat dapat berupa kelalaian dalam memanfaatkannya untuk kebaikan, sikap sombong, atau bahkan menggunakan nikmat tersebut untuk maksiat. Sebaliknya, bersyukur adalah pengakuan atas nikmat melalui hati, lisan, dan perbuatan, seperti yang dinyatakan oleh para ulama:

Syukur dengan hati: Mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah.

Syukur dengan lisan: Memuji Allah dengan dzikir dan doa, seperti membaca “Alhamdulillah.”

Syukur dengan perbuatan: Menggunakan nikmat untuk hal-hal yang diridhai Allah.

Kaitannya dengan Kehidupan Modern

1. Nikmat Dunia yang Melimpah
Dalam kehidupan modern, kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan berbagai kemudahan hidup merupakan bagian dari nikmat Allah. Namun, sering kali manusia lupa bersyukur dan justru terjebak dalam keserakahan, individualisme, dan materialisme.

2. Meningkatkan Kualitas Ibadah
Rasa syukur akan mendorong manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, nikmat kesehatan harus mendorong seseorang untuk shalat dengan sempurna, sementara nikmat harta harus digunakan untuk bersedekah.

3. Menjaga Lingkungan
Alam dan sumber daya yang ada adalah bagian dari nikmat Allah. Manusia yang bersyukur akan menjaga lingkungan, mengelola sumber daya dengan bijak, dan tidak merusaknya demi keuntungan pribadi.

Meneladani Nabi dalam Bersyukur

Rasulullah SAW.adalah teladan terbaik dalam bersyukur. Dalam sebuah hadits, Aisyah رضي الله عنها pernah bertanya kepada beliau yang melaksanakan shalat malam hingga kakinya bengkak:
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau beribadah sedemikian rupa padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang?”
Beliau menjawab:
“أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا”
(Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur?)

Ayat فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ adalah pengingat yang kuat bahwa nikmat Allah begitu melimpah, dan kewajiban kita adalah mensyukuri-Nya dengan sepenuh hati, lisan, dan perbuatan. Dengan bersyukur, kehidupan kita akan lebih bermakna, penuh berkah, dan diridhai oleh Allah SWT.

Seruan untuk pandai Bersyukur

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“…Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Didwqm Surah Ar-Rahman menjadi seruan yang sangat kuat bagi manusia dan jin untuk merenungi nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.

Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surah tersebut untuk menekankan pentingnya kesadaran atas nikmat Allah dan sebagai pengingat agar kita tidak menjadi hamba yang kufur nikmat.

Makna Ayat dalam Konteks Syukur

1. Kesadaran atas Nikmat Allah
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan manusia untuk mengenali dan mengakui nikmat-Nya. Nikmat tersebut meliputi segala hal, mulai dari penciptaan manusia, langit, bumi, rezeki, hingga kemampuan beriman kepada Allah. Tanpa kesadaran ini, manusia cenderung mengabaikan atau bahkan mendustakan nikmat yang telah diterima.

2. Kewajiban Bersyukur
Bersyukur merupakan salah satu kewajiban hamba kepada Allah. Dalam Surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman:
“لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ”
(Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih).
Ayat ini menunjukkan bahwa syukur tidak hanya menjadi bentuk pengakuan atas nikmat, tetapi juga menjadi jalan untuk mendapatkan tambahan nikmat dari Allah.

3. Perbandingan Antara Bersyukur dan Mendustakan
Kata تُكَذِّبَانِ (mendustakan) menunjukkan peringatan kepada mereka yang tidak mengakui nikmat Allah. Pendustaan nikmat dapat berupa kelalaian dalam memanfaatkannya untuk kebaikan, sikap sombong, atau bahkan menggunakan nikmat tersebut untuk maksiat. Sebaliknya, bersyukur adalah pengakuan atas nikmat melalui hati, lisan, dan perbuatan, seperti yang dinyatakan oleh para ulama:

Syukur dengan hati: Mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah.

Syukur dengan lisan: Memuji Allah dengan dzikir dan doa, seperti membaca “Alhamdulillah.”

Syukur dengan perbuatan: Menggunakan nikmat untuk hal-hal yang diridhai Allah.

Kaitannya dengan Kehidupan Modern

1. Nikmat Dunia yang Melimpah
Dalam kehidupan modern, kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan berbagai kemudahan hidup merupakan bagian dari nikmat Allah. Namun, sering kali manusia lupa bersyukur dan justru terjebak dalam keserakahan, individualisme, dan materialisme.

2. Meningkatkan Kualitas Ibadah
Rasa syukur akan mendorong manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, nikmat kesehatan harus mendorong seseorang untuk shalat dengan sempurna, sementara nikmat harta harus digunakan untuk bersedekah.

3. Menjaga Lingkungan
Alam dan sumber daya yang ada adalah bagian dari nikmat Allah. Manusia yang bersyukur akan menjaga lingkungan, mengelola sumber daya dengan bijak, dan tidak merusaknya demi keuntungan pribadi.

Meneladani Nabi dalam Bersyukur

Rasulullah SAW.adalah teladan terbaik dalam bersyukur. Dalam sebuah hadits, Aisyah رضي الله عنها pernah bertanya kepada beliau yang melaksanakan shalat malam hingga kakinya bengkak:
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau beribadah sedemikian rupa padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang?”
Beliau menjawab:
“أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا”
(Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur?)

Ayat فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ adalah pengingat yang kuat bahwa nikmat Allah begitu melimpah, dan kewajiban kita adalah mensyukuri-Nya dengan sepenuh hati, lisan, dan perbuatan. Dengan bersyukur, kehidupan kita akan lebih bermakna, penuh berkah, dan diridhai oleh Allah SWT.

PENUTUP/ KESIMPULAN

Saat tirai hari mulai ditutup, dan bayangan senja memeluk bumi dengan kelembutannya, kita terhenyak dalam perenungan mendalam.

Hidup ini, dengan segala kerumitannya, ternyata adalah panggung besar yang dirancang oleh Sang Sutradara Agung. Tiap detik adalah babak, setiap peristiwa adalah dialog, dan kita, pemeran utamanya, terus melangkah dalam cerita yang telah Dia tuliskan.

Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk bertanya: sudahkah kita memainkan peran ini dengan bijak dan penuh rasa syukur?

Bayangkan mereka yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Raga mereka rapuh, tapi harapan di mata mereka tak pernah padam.

Bagaimana dengan kita, yang masih bebas bergerak, masih mampu menengadah memandangi langit, masih bisa menggerakkan bibir untuk mengucap “Alhamdulillah”? Tidakkah kita malu pada mereka, yang meski didera sakit, masih berjuang untuk tetap bersyukur?

Lihatlah mereka yang terkurung di ruang sempit rumah tahanan. Mereka mendekap rasa rindu akan kebebasan, yang bagi kita mungkin hanya dianggap sepele. Pernahkah kita memikirkan betapa berharganya kebebasan yang kita miliki, dan betapa seringnya kita menyia-nyiakannya dengan keluhan tak berujung?

Lalu, renungkan nasib mereka yang telah berpulang, yang tak lagi memiliki kesempatan untuk merangkai amal atau memperbaiki kekeliruan. Kita, yang masih diizinkan menikmati hidup ini, apakah telah menjadikannya penuh makna, atau justru tenggelam dalam rasa tak puas dan prasangka buruk terhadap takdir?

Hidup ini adalah panggilan untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Syukur adalah kunci yang membuka pintu kesadaran, bahwa apa yang kita miliki hari ini adalah lebih dari cukup untuk menjalani hidup dengan bahagia. Allah telah memberikan lebih dari yang kita pahami, dan seringkali kita terlalu sibuk membandingkan diri dengan orang lain hingga lupa mensyukuri anugerah-Nya..Allah berfirman:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)

Rasulullah SAW. pun bersabda:
مَن أَصبَحَ مِنكُم آمِنًا فِي سِربِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِندَهُ قُوتُ يَومِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَت لَهُ الدُّنيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Barang siapa di pagi hari merasa aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia telah terkumpul baginya.” (HR. Tirmidzi)

Syukur bukan hanya sekadar menerima, tapi juga memandang segala sesuatu dengan kaca mata positif. Ia adalah seni menemukan hikmah di balik ujian, seni melihat cahaya di balik gelapnya kabut kehidupan. Syukur mengajarkan kita untuk tidak mempersalahkan takdir, tidak menuding orang lain, dan tidak hanyut dalam keluhan yang menggerus energi jiwa.

Apakah kita telah menjadikan syukur itu nyata dalam hidup? Ataukah kita masih terjebak dalam bayang-bayang kesombongan, memandang rendah mereka yang kurang beruntung, dan merasa bahwa nikmat yang ada adalah hasil usaha semata?

Hidup ini adalah tentang saling berbagi, menjadikan kelebihan kita sebagai jembatan untuk membantu orang lain. Sebagaimana air yang mengalir, nikmat yang diberikan Allah akan terus bertambah jika kita pandai membaginya. Syukur adalah tentang merangkul kekurangan orang lain, menyembuhkan luka mereka dengan kelembutan hati, dan menjadikan diri kita berarti bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk umat dan agama.

Maka, di penghujung perjalanan ini, mari kita hening sejenak, meresapi setiap detik yang telah berlalu, dan bertanya pada hati kecil kita:

Apakah kita telah benar-benar bersyukur atas hidup yang indah ini?

Apakah kita telah menjadikan ujian sebagai sarana untuk mendekat kepada-Nya, atau justru sebagai alasan untuk menjauh?

Apakah kita telah mencintai takdir Allah dengan tulus, tanpa prasangka dan keluhan?

Syukur adalah pelita yang menerangi gelapnya perjalanan. Ia adalah cahaya yang tak akan pernah redup jika kita menjaga nyalanya dengan zikir, doa, dan amal kebaikan.

Semoga kita termasuk dalam hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, yang menjadikan hidup ini sebagai ladang amal, dan yang selalu memandang takdir-Nya dengan penuh cinta.

Dan ketika waktu kita di dunia ini akhirnya habis, biarlah kenangan tentang kita menjadi cerita indah bagi sesama: kisah tentang seorang hamba yang bersyukur dalam senang dan susah, yang menjadikan nikmat Allah sebagai jalan untuk memberi manfaat, dan yang hidupnya penuh dengan harapan akan kasih sayang-Nya yang tak bertepi. #Wallahu A’lam Bishawab

 

Facebook Comments Box