TAHUN BARU, HUDUP BARU: Mengapa Kita Terus Mencari Kebahagiaan di Tempat Salah???
Oleh: Munawir Kamaluddin, Dosen UIN Alauddin Makassar
Saat kita menatap langit senja, merasakan hembusan angin yang membawa aroma kehidupan, dan menyaksikan pergantian waktu, hati ini tak jarang dihantui oleh pertanyaan yang mengganggu, “Apakah yang sejati yang kita cari dalam kehidupan ini?”
Kita sering terjebak dalam rutinitas yang tiada habisnya, terombang-ambing di antara keinginan dan kebutuhan, ambisi dan kenyataan. Dalam pergantian hari dan tahun yang silih berganti, sering kali kita merasa hampa, seolah ada sesuatu yang kurang dalam hidup ini, sesuatu yang sulit kita definisikan, namun begitu nyata dalam kekosongan hati yang terabaikan.
Tahun 2024 telah berlalu, dan kini kita memasuki tahun baru 2025, sebuah angka yang menjadi simbol bagi kebaruan dan harapan, tetapi apakah kita benar-benar siap menghadapinya dengan hati yang lapang, dengan jiwa yang penuh makna?
Di balik gemerlapnya dunia, ada sebuah irama kehidupan yang jauh lebih lembut, lebih dalam, dan lebih penuh makna. Irama itu tidak selalu terdengar dengan telinga fisik, tetapi dapat dirasakan dengan hati yang terbuka. Ketika kita terperangkap dalam arus zaman yang serba cepat ini, sering kali kita lupa bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada apa yang dapat kita raih, tetapi dalam bagaimana kita menemukan kedamaian di dalam diri kita sendiri.
Kita telah mendaki gunung-gunung harapan dan mencapai puncak-puncak cita-cita, namun di sana, sering kali kita mendapati hampa, seolah segala yang kita kejar tak memberi makna yang sesungguhnya. Allah SWT, dalam firman-Nya yang agung, telah mengingatkan kita:
“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ”
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Kebahagiaan sejati, yang kita cari dalam berbagai bentuk dan penampakan, bukanlah sebuah pencapaian duniawi yang dapat digenggam dengan tangan.
Ia lebih dari sekadar memiliki, lebih dalam dari sekadar mencapai. Ia adalah kedamaian hati yang lahir dari pengenalan terhadap Sang Pencipta, yang membawa kita pada ketenangan yang tidak tergantung pada apapun di dunia ini.
Sebuah kedamaian yang tidak akan terganggu oleh gemuruh kehidupan, oleh badai kehidupan yang kadang begitu keras menghantam. Kebahagiaan sejati adalah rasa syukur yang hadir saat kita bersyukur atas setiap detik kehidupan, baik itu suka maupun duka, dan ia hanya dapat ditemukan ketika kita sadar bahwa segala sesuatu yang kita miliki, termasuk kehidupan itu sendiri, adalah anugerah dari Allah.
Namun, betapa seringnya kita terjebak dalam pencarian yang tiada henti, mencari kebahagiaan di tempat-tempat yang salah, mengira bahwa kebahagiaan akan datang dengan memiliki lebih banyak harta, kedudukan, atau status sosial.
Kita lupa bahwa kebahagiaan sejati justru hadir dalam kesederhanaan, dalam keikhlasan, dalam kemampuan untuk bersyukur dengan apa yang ada, dan dalam kemantapan hati yang terhubung dengan Tuhan.
Di balik pencapaian dunia yang gemerlap, ada kekosongan yang tak dapat diisi dengan apa pun selain kedekatan dengan Allah.
Tahun 2024 telah berlalu, seperti arus sungai yang terus mengalir tanpa henti, membawa kita pada berbagai pengalaman dan pelajaran.
Namun, tahun baru 2025 ini membawa sebuah peluang baru, sebuah halaman kosong yang siap untuk diisi dengan kisah-kisah baru yang penuh makna. Dalam menyambut tahun baru ini, marilah kita merenung sejenak, meninggalkan segala keraguan dan kebingungan yang mengisi hati kita.
Mari kita tinggalkan kebingungan yang datang dari pencarian kebahagiaan duniawi yang tak pernah selesai.
Tahun baru ini adalah kesempatan kita untuk memulai perjalanan baru, perjalanan menuju kebahagiaan sejati yang hanya dapat ditemukan dalam kedamaian hati yang terhubung dengan Allah, dalam kerendahan hati yang tulus, dan dalam kesadaran bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kita capai, tetapi tentang bagaimana kita menjalaninya dengan penuh rasa syukur dan penghambaan.
Setiap langkah yang kita ambil menuju tahun baru ini adalah langkah menuju kedamaian yang lebih dalam.
Saat dunia luar berlari tanpa henti, mari kita berhenti sejenak dan mendengarkan irama kehidupan yang datang dari dalam hati kita.
Biarkan tahun baru ini menjadi waktu untuk merenung, untuk menemukan kembali diri kita yang sesungguhnya, dan untuk merasakan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan di luar sana, tetapi justru ada dalam kedalaman hati yang mengenal Sang Pencipta.
2025 adalah tahun yang penuh harapan. Ia memberi kita kesempatan untuk membenahi diri, untuk memperbaiki jalan hidup kita, dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kebahagiaan yang sejati tidak menunggu di ujung pencapaian dunia, tetapi ia hadir dalam kesabaran, dalam pengharapan, dan dalam doa yang tulus kepada-Nya.
Mari sambut tahun ini dengan hati yang lapang, dengan jiwa yang tenang, dan dengan keyakinan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam kedekatan dengan Allah.
Tahun baru ini adalah panggilan untuk kita semua. Sebuah panggilan untuk melepaskan segala beban yang membelenggu hati, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya, dan untuk merasakan kedamaian yang datang hanya dengan mengingat-Nya. Semoga 2025 menjadi tahun yang membawa kita pada kebahagiaan sejati, yang hanya dapat kita temukan dalam keikhlasan, dalam rasa syukur yang mendalam, dan dalam cinta yang tulus kepada Allah.
DIMANA KEBAHAGIAAN ITU BERADA? (أين هي السعادة؟)
Sebagai manusia, kita dibekali dengan keinginan yang mendalam untuk meraih kebahagiaan. Setiap individu di muka bumi ini mencari dan mendambakan ketenangan jiwa, kedamaian hidup, serta kebahagiaan yang sejati.
Namun, perjalanan kita dalam mencari kebahagiaan tidak selalu mulus. Banyak yang merasakannya sebagai sesuatu yang sulit dicapai, bahkan terkesan seperti sebuah ilusi yang selalu menjauh.
Kehidupan yang penuh pencarian akan kebahagiaan ini, sering kali menemui kegagalan. Bahkan mereka yang terlihat memiliki segalanya , kekayaan, kedudukan, atau ketenaran , kadang justru mengalami kehancuran.
Contoh-contoh tragis seperti Adolf Marckle, yang kaya raya namun mengakhiri hidupnya dengan tragis, atau G. Vargas, Presiden Brasil yang memilih bunuh diri, memberikan gambaran jelas bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan duniawi semata.
Hal serupa juga terjadi pada banyak selebriti dan tokoh terkenal lainnya, yang meskipun memiliki kemewahan yang tak terhitung, tetapi tetap merasakan kehampaan dan kehilangan arti hidup.
Lantas, dimana sebenarnya kebahagiaan itu berada?
Kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda, pangkat, atau status sosial yang dimiliki. Tidak juga pada seberapa banyaknya pasangan atau kendaraan yang kita miliki.
Melainkan kebahagiaan yang hakiki terletak pada ketenangan hati yang hanya bisa didapatkan dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yang mengungkapkan bahwa ketenangan hati hanya bisa diperoleh melalui dzikrullah (ingat kepada Allah):
“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
KESADARAN SPIRITUAL SEBAGAI KUNCI KEBAHAGIAAN
Pencarian kebahagiaan sejati membutuhkan suatu kesadaran yang mendalam. Kesadaran spiritual menjadi landasan utama untuk menemukan kebahagiaan yang hakiki.
Dalam ajaran Islam, kebahagiaan sejati datang dari pemahaman dan penerimaan akan kehendak Allah. Kebahagiaan yang tidak bergantung pada materi atau duniawi, tetapi lebih pada kedamaian yang ada dalam diri seorang hamba yang selalu bersyukur dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam Hadits riwayat Bukhari disebutkan:
“ليسَ الغِنَى عن كثرةِ العرضِ، ولكنَّ الغِنى غنى النفس”
“Kekayaan yang hakiki bukan terletak pada banyaknya harta benda, melainkan terletak pada kekayaan hati.”
(HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa kebahagiaan yang sejati adalah ketika hati merasa kaya, puas, dan bersyukur meskipun mungkin tidak memiliki segalanya.
Hati yang kaya ini adalah hati yang selalu merasa cukup, yang selalu bersyukur, dan yang selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan.
KOMPONEN KEBAHAGIAAN MENURUT SYEKH IMAM AL-GHAZALI
Syekh Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar yang sangat dihormati dalam tradisi Islam, menawarkan empat komponen utama untuk mencapai kebahagiaan sejati, yang diharapkan dapat menjawab kebingungan banyak orang dalam mencari kebahagiaan. Keempat komponen ini adalah: mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, dan mengenal akhirat.
1. Mengenal Diri (Ma’rifatun Nafs)
Mengenal diri adalah langkah pertama untuk memahami kebahagiaan sejati. Dalam tafakkur tentang siapa diri kita, dari mana asal kita, dan untuk apa kita diciptakan, kita akan menemukan makna hidup yang sejati. Al-Qur’an menyatakan:
“سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِيْ أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ”
“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami di seluruh penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran.”
(QS. Fushilat: 53)
Mengenal diri dengan sebaik-baiknya adalah fondasi dari pencarian kita untuk mengenal Allah dan kebahagiaan yang hakiki. Sebab, semakin kita mengenal siapa diri kita, semakin kita akan sadar bahwa kita membutuhkan petunjuk dan bimbingan dari Sang Pencipta.
2. Mengenal Allah (Ma’rifatullah)
Menggali lebih dalam pemahaman tentang Allah adalah kunci dari kebahagiaan sejati. Pemahaman tentang kekuasaan-Nya, kasih sayang-Nya, dan peran-Nya dalam setiap detik kehidupan kita, akan menuntun kita pada jalan yang benar. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
“وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا”
“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS. An-Nisa: 19)
Ketika seseorang mengenal Allah dengan sepenuh hati, maka ia akan merasa tenang dan tak mudah putus asa, karena ia tahu bahwa segala sesuatunya sudah ada dalam takdir dan kehendak Allah.
3. Mengenal Dunia (Ma’rifatuddunya)
Dunia ini adalah tempat ujian, bukan tujuan akhir. Imam Al-Ghazali menggambarkan dunia seperti sebuah kapal yang sedang berlayar, dan kita adalah penumpangnya. Dunia hanyalah tempat singgah yang sementara. Kita tidak boleh terlena oleh kesenangan duniawi yang bersifat sementara. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر”
“Dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang yang kafir.”
(HR. Muslim)
Mereka yang terlalu mencintai dunia akan menjadikannya sebagai tujuan utama, namun mereka yang memahami hakekat dunia sebagai ladang amal untuk kehidupan akhirat, akan mendapatkan kebahagiaan sejati.
4. Mengenal Akhirat (Ma’rifatul akhirah)
Akhirat adalah kehidupan yang abadi, sedangkan dunia hanya sementara. Seorang yang mengenal akhirat dengan baik, akan berusaha untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya. Al-Qur’an menjelaskan dengan jelas tentang kehidupan setelah mati, di mana setiap amal akan dihitung dan dipertanggungjawabkan.
“وَمَا تُدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ”
“Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan ia usahakan besok, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengerti.”
(QS. Luqman: 34)
Mengerti tentang kehidupan akhirat menjadikan seseorang tidak mudah terlena dengan dunia yang fana, dan selalu berusaha untuk menanamkan amal yang baik sebagai bekal menuju kehidupan yang kekal.
Maka oleh karena itu dalam pergantian waktu dari 2024 menuju 2025, kita dihadapkan dengan tantangan dunia yang semakin materialistik dan penuh dengan kemajuan teknologi yang kadang menjauhkan kita dari hakikat kebahagiaan.
Masyarakat modern dengan segala hedonisme, materialisme, dan sekularisme yang berkembang pesat, sering kali mengarah pada pencarian kebahagiaan yang salah, yang hanya menuntun pada keputusasaan dan kebingungan.
Namun, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada dunia yang sementara, melainkan pada pemahaman yang benar akan diri kita, mengenal Allah, memahami dunia sebagai ladang amal, dan menyiapkan bekal yang terbaik untuk akhirat. Semoga dengan memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Allah, kita semua dapat meraih kebahagiaan yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
PENUTUP / KESIMPULAN
Waktu, seperti angin yang tak terlihat, terus melaju tanpa henti. Detik-detik yang berlari, menit-menit yang berlalu, hingga tahun-tahun yang silih berganti adalah saksi bisu dari perjalanan kita di dunia ini.
Ketika tahun 2024 kini berpamitan dan 2025 menyapa, ini bukan sekadar perubahan angka pada kalender. Ini adalah isyarat mendalam dari Sang Pemilik Waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hidup kita terus bergerak menuju perjumpaan abadi dengan-Nya.
Pergantian tahun bukan hanya momen untuk merayakan, tetapi juga saat yang tepat untuk merenung dan menghitung diri. Betapa sering kita terjebak dalam rutinitas harian tanpa menyadari betapa berharganya waktu yang telah berlalu. Firman Allah dalam Al-Qur’an menggugah hati kita:
“وَٱلۡعَصۡرِ * إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِي خُسۡرٍ * إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ”
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran.” (QS. Al-‘Asr: 1-3).
Ayat ini adalah cerminan bagaimana kita memandang waktu. Jika waktu berlalu tanpa makna, kita adalah insan yang merugi.
Namun, jika setiap detik diisi dengan iman, amal shalih, dan kebaikan, maka waktu menjadi ladang pahala yang akan kita petik di akhirat kelak.
Tahun Baru, Awal Baru
Pergantian dari 2024 ke 2025 mengingatkan kita akan dua hal: pertama, betapa cepatnya waktu berlalu, dan kedua, betapa kita diberi kesempatan baru untuk memperbaiki diri. Tahun yang telah berlalu adalah guru yang mengajarkan pelajaran kehidupan, sementara tahun yang baru adalah lembaran kosong yang menanti untuk diisi dengan kisah terbaik kita.
Pada setiap akhir tahun, kita diingatkan bahwa umur kita berkurang. Namun, apakah kualitas hidup kita semakin bertambah? Apakah waktu yang telah kita habiskan mendekatkan kita kepada Allah atau justru menjauhkan kita dari-Nya? Di sinilah pentingnya momen pergantian tahun sebagai refleksi spiritual. Rasulullah SAW. bersabda:
“نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ”
“Dua nikmat yang sering kali dilalaikan oleh manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari).
Jika kesehatan dan waktu adalah amanah, maka setiap tahun baru adalah ujian baru. Bagaimana kita akan menggunakan waktu yang tersisa? Apakah kita akan terus lalai, ataukah kita akan bangkit dan menjadikan setiap detik lebih bermakna?
Menghitung Nikmat, Menyusun Harapan
Tahun yang telah berlalu adalah lautan pengalaman. Di dalamnya ada badai ujian, ada pelangi keberhasilan, dan ada ombak kecil dari setiap keputusan yang kita buat. Kita mungkin telah tersandung dan jatuh, tetapi pergantian tahun memberi kita kekuatan untuk bangkit dan melangkah lebih bijak. Allah berfirman:
“فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ * وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَبۡ”
“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmu-lah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8).
Harapan di tahun baru adalah keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dekat dengan Allah, dan lebih bermanfaat bagi sesama. Inilah saatnya kita menyusun niat baru dan menyelaraskan langkah dengan tujuan hidup yang hakiki: meraih ridha-Nya.
Karena itu kesimpulan yang terpenting dalam pergantian tahun bukanlah sekadar pergantian waktu, melainkan momen spiritual yang memanggil kita untuk kembali kepada fitrah.
Tahun 2024 telah berlalu dengan segala cerita dan kenangan. Tahun 2025 menyambut kita dengan peluang dan harapan. Mari kita sambut tahun baru ini dengan hati yang bersih, tekad yang kuat, dan doa yang tulus, agar setiap langkah kita menjadi amal shalih yang tercatat di sisi-Nya.
Seperti fajar yang menyingsing setelah malam yang panjang, pergantian tahun adalah tanda bahwa Allah masih memberi kita kesempatan.
Kesempatan untuk bertobat, memperbaiki diri, dan menjadi insan yang lebih baik. Semoga di tahun yang baru ini, kita senantiasa diberi kekuatan untuk melangkah di jalan-Nya, dan semoga waktu yang tersisa menjadi jalan menuju surga-Nya.
“رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسۡرَافَنَا فِيٓ أَمۡرِنَا وَثَبِّتۡ أَقۡدَامَنَا وَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَـٰفِرِينَ”
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, kelemahan kami dalam urusan kami, kokohkanlah langkah kami, dan tolonglah kami atas kaum yang kafir.” (QS. Ali Imran: 147).
Selamat datang, 2025. Semoga menjadi tahun penuh keberkahan insya Allah.# Wallahu A’lam Bishawab