Tolak Draf RUU PKS, PKS Siapkan Sandingan Pasal Pidana bagi Pelaku Kejahatan dan Penyimpangan Seksual LGBT
JAKARTA – Fraksi PKS DPR menyelenggarakan diskusi publik membahas polemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komplek DPR Senayan Jakarta (Rabu, 13/2).
Sebelumnya, Fraksi PKS menjadi satu-satunya partai di DPR yang secara tegas menolak draf RUU ini karena menilai pengaturannya tidak tegas, tidak jelas dan ambigu. Diantara kekhawatiran yang mengemuka RUU ini justru mendorong sikap permisif terhadap sejumlah kejahatan dan penyimpangan seksual.
Diskusi publik dibuka oleh Wakil Ketua Fraksi PKS Ledia Hanifa Amalia. Menurut Ledia, munculnya pro dan kontra terhadap RUU P-KS adalah hal wajar di tengah masyarakat karena masing-masing memiliki argumentasi.
“Yang perlu disepakati adalah bahwa kejahatan seksual harus dicegah melalui tindakan yang dapat diantisipasi supaya tidak terjadi, terlebih secara masif. Kemudian pelaku kejahatan seksual harus mendapat hukuman,” ungkap Ledia.
Hanya saja, Fraksi PKS telah beberapa kali menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap beberapa hal dalam RUU hingga dalam Rapat Paripurna, namun tidak masuk dalam catatan RUU. Inilah yang mendorong Fraksi PKS akhirnya menolak draf RUU ini.
Fraksi PKS telah mengusulkan pergantian nomenklatur. Kami tidak sepakat dengan penggunaan istilah “kekerasan seksual”, dan mengusulkan diganti namanya menjadi “kejahatan seksual”.
Hal ini agar memiliki memiliki derajat yang lebih tegas, sehingga deliknya bisa dirumuskan dengan tegas, serta pembuktiannya pun dapat jadi lebih mudah dan jelas. Ini pun sejalan dengan kriteria “darurat kejahatan seksual” yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Inpres dan sesuai juga dengan UU Perlindungan anak.
Kedua, kata Ledia, masalah kejahatan seksual, Fraksi PKS sejak awal memang melihat ada yang masih ambigu, termasuk dalam hal unsur hasrat seksual.
Hal ini berpengaruh pada perilaku seksual yang menyimpang karena di sini yang digunakan adalah istilah “relasi kuasa” yang bisa disalahpahami sebagai “relasi suami-isteri”.
Ketiga, soal peran pemerintah, Fraksi PKS telah mengusulkan bahwa semestinya ada langkah-langkah preventif dalam upaya pencegahan kejahatan seksual. Dan dalam banyak temuan, kejahatan seksual itu dipicu oleh pornografi, peredaran narkoba dan psikotropika, serta minuman keras. Ini harusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencegahan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Dan keempat, lanjut Ledia Hanifa, kami juga mengusulkan dengan menambahkan nilai-nilai “Ketuhanan Yang Mahaesa dalam asas pertama dalam RUU ini. Kami melihat pendekatan dalam ketaatan agama sebagai cara pencegahan terhadap kejahatan seksual. Hal ini merupakan langkah yang tidak merendahkan martabat seseorang serta berkontribusi bagi perlindungan perempuan, anak, dan keluarga.
Amanat Ketua Fraksi PKS
Hal senada disampaikan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan diskusi publik ini diselenggarakan untuk membedah problematik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sehingga semakin kuat, jelas, dan tepat sasaran sesuai tujuan melindungi perempuan, anak, dan generasi bangsa umumnya dari setiap bentuk kejahatan dan penyimpangan seksual.
“Kita ingin buat polemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi terang benderang. Apa yang dikritik oleh masyarakat luas, termasuk PKS, dari RUU ini bisa dijelaskan secara transparan dan bagaimana upaya rekonstruksinya sehingga darurat kejahatan dan penyimpangan seksual di negeri ini bisa kita tangani dengan pendekatan yang tepat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, moral agama dan sosio kultural masyarakat Indonesia,” kata Jazuli.
Berdasarkan kajian Fraksi PKS, lanjut Jazuli, RUU dinilai salah perspektif dalam melihat akar masalah dan solusi kejahatan dan penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat.
“RUU ini salah perspektif sehingga menghasilkan miskonsepsi pengaturan dan tidak sejalan dengan situasi dan kondisi serta nilai-nilai sosial kultural masyarakat Indonesia yang beragama dan berbudaya luhur. Akibatnya pasal-pasal kekerasan seksual melebar kemana-mana, sementara persoalan pokok atau akar masalahnya malah tidak diatur,” tandas Jazuli.
Anggota Komisi I ini mencontohkan sejumlah miskonsepsi akibat kesalahan perspektif RUU P-KS, penyebutan istilah “hasrat seksual” sebagai bagian yang dilindungi dari ancaman bisa dimaknai mencakup disorientasi seksual seperti LGBT padahal kultur masyarakat menolak LGBT. Istilah “ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender” ini perspektif feminis liberal yang tidak membedakan hubungan di luar perkawinan maupun di dalam perkawinan yang dalam kultur kita sangat sakral.
“Demikian halnya pengaturan larangan pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan perkawinan, mengindikasikan pergeseran fokus dari tindak kejahatan seksual. Lalu pengaturan pemaksaan aborsi dan pemaksaan pelacuran secara implisit justru bisa dimaknai pelegalan aborsi dan pelacuran. Miskonsepsi seperti ini yang tegas kita tolak,” tandas Jazuli.
Atas dasar kajian tersebut, Fraksi PKS mengusulkan perubahan judul RUU menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual yang berprespektif Pancasila khususnya yang berangkat dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa atau nilai moral agama.
“Pengaturannya jelas, tegas, dan tidak ambigu yaitu melarang semua bentuk kejahatan dan penyimpangan seksual. Melarang dan menghukum semua praktik perzinahan, pelacuran, perkosaan, dan perilaku seks menyimpang LGBT yang jelas dilarang oleh agama manapun di Indonesia ini,” pungkas Jazuli.
Hadir sebagai narasumber diskusi publik Fraksi PKS ini adalah Iqbal Romzi (Anggota Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR RI, Dinar Dewi Kania (Peneliti INSISTS), Topo Santoso (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Imam Nakhai (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2014-2019). (J3)