Untuk Apa Pendidikan Itu Sebenarnya?
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pertanyaan ini diajukan oleh Tan Malaka. Maklum, dia melihat kenyataan. Tersedia pendidikan, tapi tidak menyanggupi untuk menjawab persoalan. Yaitu persoalan bagi rakyat kromo (istilah wong cilik di era kolonial) saat itu. Pendidikan dibangun bagus-bagus hanya untuk melayani dan mengekalkan kolonialisme.
Sekarang, pertanyaan Tan Malaka itu tetap saja aktual. Kita melihat berjamurnya aneka ragam institusi pendidikan, tapi sebagian besar rakyat belum bisa menjawab persoalan hidupnya. Mereka masih tetap miskin, susah mengakses fasilitas hidup, dan senantiasa tercekam dalam sergapan kemiskinan dan pengangguran. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga miskin, akan mewarisi kemiskinan orang tuanya.
Hakikat pendidikan ialah menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar kehidupan. Memecahkan persoalan kehidupan dan lepas dari cengkaraman persoalan. Lalu kalau pendidikan menjamur dari TK hingga Perguruan Tinggi, tapi siswa tidak bisa lepas dari kemiskinan dan pengangguran, berarti itu bukanlah pendidikan, tapi sosialisasi. Sosialisasi atas bangunan sosial ekonomi politik yang tengah berkuasa. Sosialisasi suprastruktur.
Saat ini, banyak sistem pendidikan telah dicoba. Mulai yang terkenal sistem CBSA hingga sekarang sistem kurikulum 2013 (Kurtilas) dengan sajian gado-gado dalam satu tema. Sempat juga muncul KTSP, lalu balik lagi ke Kurtilas. Tapi omong kosong semua. Anak-anak miskin tidak ada kepastian bisa lepas dari kemiskinan setelah menjalani 6 tahun masa sekolah. Jangankan 6 tahun masa sekolah. 18 tahun masa sekolah saja, dari SD – PT, anak-anak dari keluarga miskin selalu mangkrak dan macet terjebak dalam kemiskinan. Sedangkan si kaya, tanpa perlu sekolah, dapat mewariskan kekayaannya dari generasi ke generasi. Apa sebab?
Pertama, pendidikan hanya sekedar sosialisasi. Bukan menjawab persoalan hidup. Persoalan hidup si kromo ialah lepas dari kemiskinan, malah yang dikasih menghapal doktrin ini itu menghapal rumus ono anu yang tidak ada urusannya dengan pergumulan hidup si siswa. Ibaratnya si siswa butuh ganjal perut dengan nasi sekarang, malah disuruh hapal teks sila keempat yang panjang itu. Ganjal dulu petutnya, baru kasih hapalan. Jadi, yang mendesak adalah urusan mengganjal perut bagi si anak. Begitulah harusnya pendidikan. Memecahkan persoalan mendesak dan riil bagi si murid.
Kedua, pendidikan hanya mengekalkan susunan sosial ekonomi politik yang sudah mapan. Tidak meruntuhkan atau membukanya. Akibatnya, staffing terhadap struktur itu, lagi-lagi bersifat ekslusif dan ketat.
Sekarang, perlu ada prakarsa untuk membuat pendidikan berangkat dari pertanyaan: untuk apa pendidikan itu diberikan? Diberikan untuk siapa? Menjawab pertanyaan urgen apa saja pendidikan itu? Apa saja yang diberikan dalam pendidikan itu? Dididik dan dilatih berapa lama untuk menjawan pertayaan-pertanyaan urgen/kehidupan itu? Dididik dan dilatih oleh siapa? Apa kapasitas dan kapabilitas pendidiknya? Pendidikan diselenggarakan dimana? Apa saja fasilitas dan alat yang urgen dibutuhkan untuk keperluan pendidikan itu? Semakin cepat semakin baik. Tak perlu puluhan tahun masa terenggut oleh pendidikan. Sebab pendidikan juga berlangsung dalam masyarakat.
Yang urgen dalam pendidikan itu, supaya yang miskin lepas dari kemiskinannya. Yang bodoh lepas dari kebodohannya. Yang jahat lepas dari kejahatannya. Yang lemah lepas dari kelemahannya. Yang kurang motivasi atau malas, lepas dari kemalasannya. Yang cemas masa depan hidupnya, lepas dari kecemasannya.
Itulah di antara fungsi pendidikan itu harusnya. Bukan melestarikan pengisapan dan penindasan manusia atas manusia, seperti yang masih berlangsung saat ini di Indonesia.
Jadi, ASPIRASINYA: jika Anda seorang anggota DPR, sudah sebaiknya apa yang diutarakan dalam gagasan artikel ini diserap dan dituangkan dalam UU atau Perda yang dapat mengatasi problem “endemik” pendidikan nasional saat ini.
~ SED