Urgensi Pembentukan UU Tentang MPR
Oleh: HARRY SETYA NUGRAHA, SH, MH, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi dan Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Jambi
Beberapa tahun terakhir, diketahui bahwa MPR melalui Badan Pengkajian MPR sedang “giat-giatnya” berkeliling kota melakukan berbagai kegiatan focus group discussion bersama akademisi hukum, khususnya akademisi hukum tata negara dan administrasi negara guna membahas beberapa hal berkenaan dengan upaya penguatan kelembagaan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Terakhir, kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Badan Pengkajian MPR bersama dengan Asosiasi Pengurus HTN-HAN Provinsi Jambi dengan topik pembahasan menyoal wacana pembentukan UU tentang MPR tersendiri. Ada hal menarik yang penulis temui dalam topik yang diangkat tersebut. MPR mencoba mencari alternatif dalam penguatan kelembagaannya selain melalui perubahan UUD 1945, yakni dengan cara pembentukan UU tersendiri yang mengatur tentang kelembagaan dan kewenangan MPR.
Terhadap wacana tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah sebenarnya pembentukan UU tentang MPR menjadi penting untuk diakukan? Mengingat kita ketahui bersama bahwa hari ini, ius constitutum kelembagaan dan kewenangan MPR telah diatur di dalam UU No. 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Urgensi Secara Filosofis
Secara filosofis, MPR dibentuk oleh faunding fathers untuk menjelma sebagai “rumah rakyat” tempat “seluruh masyarakat” Indonesia berkumpul. Meskipun saat ini MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, hal tersebut tidak kemudian merubah status dan hakekatnya sebagai rumah rakyat dalam sistem kelembagaan negara di Indonesia.
Oleh karena itu, secara filosofis wacana kehadiran UU tentang MPR pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu bentuk tekat Badan Pengkajian MPR untuk menjaga hakekat, eksistensi dan keistimewaan MPR sebagai rumah rakyat.
Dengan kata lain, melekatkan pengaturan kelembagaan dan kewenangan MPR ke dalam UU yang juga mengatur mengenai lembaga negara lainnya sama saja seperti halnya kita menafikkan keistimewaan dari kelembagaan MPR sebagai rumah rakyat di Indonesia.
Urgensi Secara Yuridis
Berbicara mengenai urgensitas secara yuridis wacana pembentukan UU tentang MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tentu tidak dapat kita lepaskan kaitanya dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ke-4.
Dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Jika dicermati, setidaknya terdapat tiga point penting dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Pertama bahwa keanggotaan MPR teridiri dari anggota DPR dan DPD; kedua, bahwa anggota DPR dan DPD yang akan menjadi bagian dari keanggotaan MPR haruslah dipilih melalui pemilu; dan ketiga bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai segala hal berkenaan dengan MPR diatur “dengan” undang-undang.
Mencoba spesifik berbicara pada point penting ketiga dari rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Terhadap rumusan yang demikian itu, pada dasarnya dapat kita ketahui bahwa terjadi suatu antribusi kewenangan dari UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk membentuk UU yang mengatur secara rigid berkenaan dengan kelembagaan MPR. Oleh karena nomenklatur yang digunakan di dalam UUD 1945 adalah “…diatur dengan…”, maka pengaturan mengenai kelembagaan MPR sebagaimana dimaksud haruslah diatur di oleh UU tersendiri.
Dengan kata lain, tidak dibenarkan jika pengaturan mengenai kelembagaan MPR dilekatkan kedalam UU yang mengatur mengenai lembaga negara lainnya seperti halnya yang kini terjadi. Oleh karena itu, dapat diketengahkan bahwa secara yuridis kehadiran UU tentang MPR menjadi penting untuk diwujudkan dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 serta sebagai upaya menegakkan tertib hukum perundang-undangan di Indonesia.
Catatan terhadap proses pembentukan
Setelah diketahui bahwa wacana pembentukan UU tentang MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki urgensi baik secara filosofis maupun secara yuridis, namun dalam proses pembentukan nantinya haruslah memperhatikan beberapa hal yang tidak boleh dilupakan.
Pertama, materi muatan di dalam ius constituendum UU tentang MPR haruslah mampu menjaga hakikat, eksistensi dan keistimewaan MPR sebagai rumah rakyat. Ini menjadi penting sebab bagaimanapun satu dari sekian urgensi pengaturan kelembagaan MPR dengan UU tersendiri yakni sebagai upaya dalam mewujudkan hal tersebut.
Kedua, selain harus mampu menjaga hakikat, eksistensi dan keistimewaan MPR sebagai rumah rakyat, materi muatan di dalam ius constituendum UU tentang MPR haruslah mencerminkan beberapa asas yang mendukung tujuan dari pembentukan UU tersebut. Setidaknya beberapa asas yang perlu diperhatikan yakni asas kebangsaan, asas kenusantaraan, asas bhineka tunggal ika, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta asas kepastian hukum.
Ketiga, pembentukan UU tentang MPR harus dilakukan dengan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Keempat, pembentukan UU tentang MPR harus mengkedepankan partisipasi publik. Berkenaan dengan hal ini, selain merupakan sebuah hak yang dimiliki masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, keterlibatan publik mutlak dibutuhkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya UU tentang MPR agar materi muatan di dalam undang-undang tersebut benar-benar dapat mengakomodir kepentingan publik.
Tidak hanya itu, partisipasi publik juga dibutuhkan dalam rangka mengontrol agar proses pembentukan peraturan tersebut sejalan dengan tujuan pembentukannya dan berjalan diatas koridor yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Bagaimanapun MPR merupakan rumah rakyat, oleh karena itu menjadi keharusan bahwa pembentukan peraturan mengenai kelembagaan tersebut haruslah melibatkan rakyat. []