UU TNI Digugat di MK, Dave Laksono: Itu Hak Konstitusi Setiap Warga Indonesia yang Sudah Termaktub di UUD 1945

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Dave Laksono angkat suara adanya gugatan untuk membatalkan UU TNI hasil revisi yang diajukan mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dave mengatakan setiap warga negara berhak mengajukan gugatan apa pun kepada MK.
“MK itu adalah hak setiap warga negara untuk mengajukan gugatan, apapun itu. Tapi ada proses dalam MK untuk menilai gugatan itu apakah layak atau tidak,” kata Dave kepada Wartawan, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Dave menyerahkan proses terkait gugatan itu kepada MK. Menurutnya, MK-lah yang berwenang mengadili dan membuat putusan terkait gugatan tersebut.
“Jadi bukannya kita mempermasalahkan apa tidak, karena itu adalah hak konstitusi setiap warga Indonesia yang sudah termaktub di dalam Undang-Undang Dasar. Jadi itu biar sesuai, berjalan sesuai dengan prosesnya,” ujarnya.
Dave menegaskan pihaknya telah melakukan tugas sesuai kewenangan. Dia mempersilakan masyarakat untuk menempuh jalur yang tersedia jika merasa tak puas dengan hasil revisi UU TNI.
“Kita sudah selesai melaksanakan tugas kita, kita sudah menunaikan fungsi kita. Jadi bilamana ada yang tidak puas, itu adalah hak setiap warga untuk menyampaikan pandangan aspirasinya,” tuturnya.
Sebagai informasi, Undang-Undang (UU) TNI hasil revisi digugat ke MK. Penggugat meminta MK membatalkan UU tersebut dan menghukum Presiden serta para Anggota DPR. Gugatan nomor 58/PUU-XXIII/2025 itu diajukan oleh dua orang berstatus mahasiswa bernama Hidayatuddin dan Respati Hadinata.
Dalam dokumen permohonannya, mereka mengajukan gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mereka beralasan pengesahan RUU TNI dalam rapat DPR bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mereka menganggap pembahasan revisi UU TNI tidak transparan. Mereka juga menyebut UU TNI tidak memberi penjelasan yang detail soal penyelesaian konflik komunal.
Para pemohon pun merasa berhak menuntut ganti rugi terkait pengesahan revisi UU TNI itu. Mereka beralasan telah menjadi pembayar pajak, namun hak konstitusionalnya dilanggar oleh pembentuk UU dalam proses pembahasan dan pengesahan revisi UU TNI yang mereka anggap tidak transparan serta tak sesuai aturan.
Pemohon meminta presiden membayar ganti rugi sebesar Rp 25 miliar. Selain itu, meminta MK menghukum Pimpinan dan masing-masing Anggota Badan Legislasi DPR RI untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 5 miliar.