Opini: Waspadalah Bahaya ‘Minimata’ Menghantui Jakarta
Conference on Human Environment 5 Juni 1972 di Stockholm untuk pertama kali mencanangkan perlu dilestarikannya lingkungan untuk menyelamatkan manusia. Dan mulailah berputar roda perjuangan melestarikan alam untuk kemaslahatan hidup manusia, (Emil Salim, 2013).
Oleh Rasminto[1]
Satu dasawarasa Pasca Konferensi Stockholm berlalu, kerusakan lingkungan semakin parah. Lahir penyakit berbahaya dengan menyebabkan cacat tubuh manusia sepanjang hidupnya dan berdampak kematian akibat “korban” mengkonsumsi ikan yang keracunan akut merkuri.
Peristiwa memprihatinkan ini terjadi di Jepang yang sangat terkenal dengan penyakit Minamata. Pada saat itu, tidak ada satupun obat dan ilmu kedokteran mampu menangani penyakit “aneh” Minamata tersebut. Gejala penyakit ini membuat korban berasa kesemutan, lemas, penyempitan sudut pandang dan penurunan kemampuan berbicara serta pendengaran.
Pada tingkatan akut, penyakit ini dapat menyebabkan kelumpuhan, gila yang akhirnya dapat menyebabkan koma dan kematian. Peristiwa yang menggemparkan dunia ini terjadi akibat pencemaran merkuri oleh buangan limbah Pabrik Batu Baterai Chisso yang dengan sengaja membuang limbah pabriknya ke Teluk Minamata Prefektur Kumamoto.
Pembangunan bukan saja merusak alam, tetapi malahirkan ikan, tanaman dan makanan yang membawa penyakit-penyakit baru bagi manusia. Hal ini terjadi erat kaitannya dengan pencemaran lingkungan oleh bahan-bahan beracun dan berbahaya hasil industri dan pembangunan yang mengejar keuntungan ekonomi semata. Anehnya lagi, peristiwa tersebut terjadi di Kota-Kota besar dengan tingkat rasionalitas dan pendidikan penduduk yang lebih baik dibanding daerah lainnya.
Kompleksitas permasalahan pembangunan di atas menjadi “embrio” dalam mencari model pembangunan yang bersahabat bagi manusia dan tentunya bagi kelestarian lingkungan. Maka, banyak para ahli lingkungan dan pemimpin negara dunia bersepakat dalam membangun kota-kotanya harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Ketika kita meneropong Kota Jakarta sebagai tempat hunian dan mencari kehidupan di dalamnya. Rasanya berasa sangat sesak oleh padatnya penduduk dan pesatnya pembangunan. Untuk sekedar melihat lapangan luas yang hijau dengan ditumbuhi oleh tanaman-tanaman menjadi “barang langka” untuk ditemui di Kota Jakarta, adapula “saban tahun” warga Jakarta selalu merasakan banjir di daerahnya dan tatkala ingin menikmati ikan hasil tangkapan nelayan di laut Jakarta, warga khawatir ikan-ikannya sudah tercemar oleh limbah industri.
Padahal tangkapan ikan itu sendiri dari hasil susah payah nelayan Jakarta yang mengalami penurunan drastis tangkapanya. Di awal tahun 2016 terjadi kasus matinya ribuan ikan di pantai Ancol Jakarta Utara yang membuat sepanjang pantai Ancol tercemar bangkai ikan dengan bau yang sangat menyengat dan menjadi “teror” bagi warga serta nelayan.
Hingga saat ini belum ditemukan penyebab pasti kematian ribuan ikan namun diduga kuat penyebabnya adalah karena faktor pembuangan limbah kimia dengan tingkat pencemaran zat-zat kimiawi logam berat yang diambang batas normal di pantai Ancol seperti Hg rata-rata sebesar 0,021 ppm, Pb 0,05 ppm, Cd 0,1 ppm, Zn 0,0027 ppm, Cu 0,002 ppm dan Ni 0,0045 ppm (Lestari dan Edward, 2004).
Padahal ambang batas normal yang ditetapkan KLH (2004) untuk biota laut yakni 0,001 ppm untuk Hg dan Cd, 0,008 ppm untuk Pb dan Cu, dan 0,05 ppm untuk Zn dan Ni. Bisa jadi saat ini kondisinya lebih memprihatinkan dengan makin tingginya aktivitas industri di Jakarta ditambah dengan adanya reklamasi pantai utara Jakarta yang menjadi keniscyaan bagi Kota Jakarta, namun harus memperhatikan aspek pembangunan lingkungan apabila tidak mau dihampiri “teror” Minamata seperti Prefektur Kumamoto di Jepang.
Berdasarkan kondisi tersebut, Pemerintah khususnya Pemprov DKI Jakarta beserta warga Jakarta di dalamnya harus segera sadar dan melakukan upaya perencanaan pembangunan Kota Jakarta dengan pendekatan konsep pembangunan yang berkelanjutan, demi mewaspadai teror “Minamata” yang kapanpun dapat meneror warga.
Konsep perencanaan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci dalam kesiapsiagaan Kota, dimana pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kualitas hidup ini didefinisikan dalam kaitannya dengan kesehatan dan “longevity”, pekerjaan (employment), pendidikan, kebebasan dan rasa aman (freedom and security), kebudayaan dan resfek terhadap hak-hak asasi manusia, serta mungkin perlu ditambahkan dimensi estetika (Connect, 1992 dalam Made Putrawan, 2014).
Konsep pembangunan ini pun perlu dibangun sebuah perspektif bahwa masyarakat tidak lagi kecenderunganya hanya sekedar menilai pentingnya masa kini namun masa depan jauh lebih penting. Oleh karena itu, mengutip dari Profesor Surna Thahja Djadjadiningrat dan Sutanto Hardjolukito (2013) bahwa prinsip dasar pembangunan berkelanjutan ini harus memenuhi prinsip pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif jangka panjang, sebagaimana diurai sebagai berikut:
Prinsip pemerataan dan partisipasi mengandung makna bahwa kepedulian utama dari suatu pembangunan yang berkelanjutan adalah menjawab pertanyaan tentang pemerataan untuk generasi masa kini dan generasi masa depan, inilah prinsip pemerataan yang dibangun dalam pembangunan yang berkelanjutan sehingga generasi mendatang di Kota Jakarta pun dapat menikmati hal yang sama apa yang didapat oleh generasi masa kini bahkan kita warisi lebih apa yang kita dapat saat ini.
Prinsip menghargai keanekaragaman, pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang, sebagai dasar bagi keseimbangan tatatan lingkungan (ekosistem). Lalu juga perlu memperhatikan keanekaragaman budaya sebagai pendorong dalam pentingnya pengetahuan terhadap tradisi berbagai etnis masyarakat untuk dapat dimengerti oleh warga kota.
Prinsip pendekatan integratif, yakni dengan mengutamakan keterkaitan hubungan manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau justru merusak. Oleh karena itu, memberikan pemahaman secara integratif kepada warga kota tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial menjadi basis pengetahuan dan cara-cara dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini merupakan tantangan utama kelembagaan.
Prinsip perspektif jangka panjang, yakni melihat kondisi masyarakat dengan kecenderungan menilai masa kini lebih penting dari masa depan. sehingga berimplikasi pada perspektif pembangunan. Maka perspektif jangka panjang mensyaratkan dilaksanakannya penilaian paradigma yang diarahkan tidak lagi pada perspektif masa kini atau menilai sesaat yang masih mendominasi pemikiran para pengambil kebijakan.
Dengan demikian, membangun Kota Jakarta berwawasan berkelanjutan menjadi syarat mutlak dalam menghindari “teror” bahaya Minamata bagi warga Kota Jakarta dengan mempertahankan aspek ekologis, keanekaragaman hayati, keberlanjutan ekonomi, sosial budaya dan keberlanjutan politik dengan peduli terhadap human rights dan kepastian kesediaan pangan, air dan pemukiman bagi warga Kota Jakarta di masa kini dan masa depan.
[1] Penulis adalah Direktur Eksekutif Human Studies Institute dan aktif sebagai Dosen Geografi UNISMA serta saat ini sedang menempuh Program Doktoral Prodi PKLH Pascasarjana UNJ angkatan 2015/2016.