Yusril Ajukan Judicial Review, Elit Partai Demokrat Ketar-ketir
Jakarta – Nyaris sepekan belakangan, nama politisi dan ahli hukum tata negera tanah air, Yusril Ihza Mahendra, kembali jadi trending topik di lini masa. Pokok pangkalnya bermula dari pengajuan judicial review Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung.
Yusril mengklaim jika pengajuan itu dilakukan atas penunjukan 4 orang anggota Partai Demokrat, melalui firma hukum miliknya.
Judicial Review dimaksud meliputi pengujian formil dan materil terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan Menkumham tanggal 18 Mei 2020, dimana termohon adalah Menteri Hukum dan HAM.
Dalam risalah judicial review yang diajukan ke Mahkamah Agung itu, secara rinci dan terstruktur Yusril membangun argumen yang cukup koheren dan kokoh sesuai kecakapan pengetahuannya di bidang hukum.
Bahkan dalam keterangan awal yang sudah beredar di berbagai media, Yusril telah menegaskan jika langkah hukum ini terbilang baru dalam dinamika hukum Indonesia.
Pertama-tama ia membangun argumen dengan menyodorkan pertanyaan fundamental ihwal pendirian sebuah partai; bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol, karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Partai Politik.
“Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukan dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?,” tanya Yusril dan Yuri melalui siaran pers, Kamis (23/09/2021).
Dari cara skeptisisme itu, lalu Yusril mulai mengemukakan pandangan hukumnya; baginya ada kevakuman hukum untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Mahkamah Partai sebagai quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ARD. Begitu juga Pengadilan Negeri dan Tata Usaha Negara.
Karena situasi kevakuman itulah, ia lalu menyusun kembali argumen yang dinilainya cukup meyakinkan. Apalagi kemudian ia menguatkan agrumennya dengan pandangan ahli hukum lainnya, seperti Dr. Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Ahli Hukum Tata Negara dan Konstitusi Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H.
Mereka, menurut Yusril sepakat jika pada hakikatnya harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukan dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak?. Sebab penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang.
Alasan lainnya adalah bahwa peran partai politik begitu besar dalam kehidupan berdemokrasi dan penyelenggaraan negara. Di dalam UUD 1945 disebutkan antara lain bahwa hanya parpol yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, kepala daerah, dan sebagainya.
Begitu parpol didirikan dan disahkan, secara otomatis tidak bisa dibubarkan, termasuk oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dari argument itu Yusril lalu mengajukan pertanyaan lanjutan, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi?
Yusril juga mengingatkan agar kita jangan melupakan jika partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang berarti dibiayai dengan uang rakyat.
Karena itu Yusril berpandangan jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola “suka-suka” oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya yang dilegitimasi oleh AD/ARTnya, namun ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945.
Atas dasar itu pula menurut Yusril Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak?.
“Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak? Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik? Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak dengan UU Partai Politik? Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU Parpol atau tidak? Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam permohonan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung,” cecar Yusril lewat sejumlah pertanyaan tajam.
Untuk menepis jika judicial review ini terkesan personal dan tendensius mengingat Yusril sadar akan banyak menuai reaksi publik, terutama dari elit partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono, ia kemudian kembali menegaskan sikap, jika pengujian AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung ini sangat penting dalam membangun demokrasi yang sehat di negara Indonesia. Ia juga mempertegas tidak mencampuri masalah internal partai demokrat, melainkan fokus pada persoalan hukum yang ditangani.
“Bisa saja esok lusa akan ada anggota partai lain yang tidak puas dengan AD/ARTnya yang mengajukan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung. Silahkan saja. Sebagai advokat, kami bekerja secara profesional sebagai salah satu unsur penegak hukum di negara ini sesuai ketentuan UU Advokat. Bahwa ada kubu-kubu tertentu di Partai Demokrat yang sedang bertikai, kami tidak mencampuri urusan itu. Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat. Kami fokus kepada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani,” tutupnya.
Sayangnya, dari poin-poin judicial review yang dibangun Yusril di atas, justru menurut Juru Bicara Yusril, Jurhum Lantong, sama sekali tak direspon serius terkait isi poin hukum di atas oleh elit Partai Demokrat, salah satunya dari pernyataan Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat yakni Kamhar Lakumani. Sebaliknya ia malah menanggapi Yusril dengan pertanyaan mengapa tak mempertanyakan AD/ART pertai lain, termasuk partai Yusril, yakni Partai Bulan Bintang?
“Argumen ini mencerminkan jika Kamhar tak memahami posisi legal standing dalam posisi mengajukan gugatan atau judicial review. Memangnya ada yang mengajukan dari partai lain, atau dari internal PBB yang ingin melakukan hal yang sama seperti di tubuh PD? Kalau ada dan memungkinkan celah hukumnya, ya kenapa tidak?,” kata Jubir Yusril dalam keterangan persnya diterima lintasparlemen.com, Minggu (26/9).
Jubir Yusril melanjutkan, Kamhar malah ngelantur ke tuduhan lain, soal adanya motif terselubung dari agenda judicial review AD/ART tersebut yang justru dibacanya bukan untuk memperkuat demokrasi, malah membuka pintu masuknya otoritas tertentu yang terafiliasi dengan kekuasaan untuk mengobok-obok dan mengintervensi kedaulatan partai politik yang menjadi institusi politik dan pelembagaan demokrasi. “Argumen ini selain jauh panggang dari api jelas ngaur,” ujar Jurhum.
Sebelum jadi aktivis partai yang terlahir dari rahim reformasi, sejatinya Kamhar, mafhum soal apa saja pilar utama dalam demokrasi?
Menurut Jurhum, mereka mestinya membaca apa saja pilar utama demokrasi, yang salah satunya adalah partai politik sebagai pilarnya. Partai meski pun didirikan sekelompok orang merupakan amanat undang-undang, jadi muatanya juga harus sesuai kaidah undang-undang yang berlaku, bukan monopoli keluarga apalagi perorangan. Pilar demokrasi ini jelas sangat penting, karena partai juga milik publik yang juga diberi subsidi uang negara. Partai juga merupakan pilar utama demokrasi sebagaimana pernah diulas oleh ilmuan politik Herbert Feith.
Betapa besarnya peran partai seperti diulas Yusril di atas, kata Jurhum, hingga kewenangannya bisa mencalonkan Presiden, tapi tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Maka wajar ketika ada kaidah AD/ART yang dibuat tak sesuai undang-undang kemudian disoal, apalagi jika dalam pokok-pokok AD/ART ada yang menyimpang dari tujuan utama berdemokrasi, seperti kecenderungan oligarki dan monolitik. “Maka hemat saya argumen yang dibangun Yusril cukup mendasar sebagai langkah uji materil, bukan justru direspon dengan cara melempar gosip politik sana sini,” tegas Jurhum.
Maka dari itu, Jurhum mempertegas kembali, justru apa yang tengah ditempuh sebagian anggota PD yang memberi mandat pada kantor advokat Yusril itu sebuah kemajuan untuk memberi pendidikan politik yang bergizi bagi rakyat. “Biar publik juga mengetahui jika partai bukan dibuat berdasarkan ‘arisan keluarga’ lalu bisa seenaknya saja bikin AD/ART,” pungkas Jurhum mengakhiri keterangannya.